REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) mulai memperketat ekspor minyak sawit atau CPO dan turunannya. Ini dilakukan untuk mengamankan kebutuhan bulan Ramadhan dan Idul Fitri yang akan dimulai pada Maret 2023 mendatang.
Pengetatan tersebut ditempuh dengan menurunkan rasio volume ekspor dari volume domestic market obgligation (DMO) yang dijalankan para perusahaan. Sebelumnya, volume DMO sebesar 1:8 yang artinya, pelaku usaha akan mendapatkan izin ekspor CPO delapan kali lipat dari volume DMO yang dijalankan di dalam negeri.
"Aturannya sudah ada, sekarang jadi 1:6 Kenapa? karena untuk persiapan hadapi puasa dan Lebaran, mungkin kebutuhan dalam negeri akan meningkat," kata Zulkifli dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (2/1/2023).
Meski demikian ia meyakini kebijakan itu tidak akan berdampak besar pada kinerja ekspor sebab kuota yang diberikan itu masih cukup besar. Para eksportir diyakini masih cukup longgar untuk bisa melakukan ekspor setelah memenuhi kewajiban DMO.
"Namun, ini sinyal agar kepentingan dalam negeri diutamakan dan ditambah," kata Zulhas.
Seperti diketahui, kebijakan DMO diterapkan Kemendag sejak tahun lalu untuk memastikan kecukupan pasokan CPO untuk pasar domestik. Terutama untuk minyak goreng yang sempat mengalami kelangkaan dan lonjakan harga awal tahun 2022 lalu.
Pemerintah menargetkan volume minyak goreng hasil DMO mencapai sedikitnya 300 ribu ton per bulan, di atas dari rerata kebutuhan bulanan sekitar 250 ribu ton. Zulhas menambahkan, harga minyak goreng dalam negeri pun telah dikendalikan.
Kemendag juga telah membuat kebijakan Minyakita seharga Rp 14 ribu per liter yang mudah diakses oleh masyarakat melalui pasar tradisional maupun toko ritel modern. Ini sesuai janjinya pada Presiden RI, Joko Widodo untuk menurunkan harga minyak goreng yang dapat dilakukan dalam satu bulan.
"Saat ini, produk Minyakita sudah dijual ke seluruh provinsi, termasuk wilayah timur Indonesia seperti Papua, Papua Barat, hingga Nusa Tenggara Timur (NTT)," katanya.