REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Umum PPP, Muhammad Romahurmuziy atau dikenal Romi, mengungkapkan kembali bergabung ke PPP. Tak tanggung-tanggung ia menduduki kursi Ketua Majelis Pertimbangan PPP.
Lewat akun Intagram-nya, Romi mengunggah surat keputusan DPP PPP per 27 Desember yang berisis perubahan susunan anggota Dewan Pertimbangan DPP PPP 2020-2025.
Dalam surat itu disebutkan bahwa Muhammad Romahurmuziy sebagai Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP. Romi didampingi lima wakil-wakil ketua yang terdiri dari Wardatul Asriyah, Nu'man Abdul Hakim, Anang Iskandar, Syarif Hadler dan Witjaksono.
Kemudian, Sekretaris Anas Thahir dan wakil-wakil sekretaris Hizbiyah Rochim dan Irene Rusli Halil.
"Kuterima pinangan ini dengan bismillah. Tiada lain kecuali mengharap berkah agar warisan ulama ini kembali merekah. Kuterima amanah ini dengan inna lillah karena di setiap jabatan itu mengintai fitnah. Teriring ucapan la haula wa laa quwwata illa billah," tulis Romi, pria kelahiran 10 September 1974 itu.
Romi merupakan Ketua Umum PPP periode 2014-2019. Cucu dari menteri agama ketujuh itu resmi memimpin PPP melalui Muktamar VIII PPP di Surabaya mengganti Suryadharma Ali. Namun, Romi terseret kasus korupsi pada 2019 dalam kasus suap jual-beli jabatan di Kementerian Agama.
Berdasarkan putusan MA, Romi divonis pidana satu tahun penjara yang sekaligus menguatkan putusan pengadilan tingkat banding. Sedangkan, di pengadilan tingkat pertama Romi divonis pidana dua tahun penjara. Romi bebas pada 29 April 2020.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghormati hak dari mantan terpidana perkara korupsi M Romahurmuziy alias Romi yang kembali terjun ke politik. "KPK pada prinsipnya menghormati hak setiap mantan narapidana korupsi sebagai WNI dalam berserikat, berkumpul, dan beraktivitas dalam lingkungannya masing-masing, termasuk kegiatan politik, sepanjang memang tidak dibatasi oleh putusan pengadilan terkait pencabutan hak politik," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri melalui keterangannya pada Senin.
Ia mengatakan bahwa hukuman bagi para narapidana sepatutnya tidak hanya dimaknai sebagai hukuman untuk memberi efek jera. Namun, juga sebagai pembelajaran bagi dia dan juga masyarakat agar tidak kembali terjerat tindak pidana korupsi.