REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendeta Saifuddin Ibrahim yang menjadi sorotan karena sempat hina Alquran kini membuat pernyataan 'menyerang' ke pemerintahan RI. Lewat saluran Youtube-nya, Saifuddin menyebut pemerintahan Indonesia budek, dan tidak merasakan penderitaan Papua.
"Kalau saudara membaca media internasional, Indonesia saat ini sedang dihakimi dan babak belur terkait kasus mutilasi yang dilakukan pada 22 Agustus di Mimika dan insiden di Mappi pada 30 Agustus, apakah ada berita di Indonesia, tidak kedengaran? Memang Indonesia ini pemerintahannya budek, tidak merasakan penderitaan rakyat Papua," ujar Saifuddin, Selasa (2/1/2022).
Pemerintah RI, kata Saifuddin, justru mengirim tentara-tentara sadis, polisi-polisi 'Sambo' untuk bertugas di sana dan membuat organisasi boneka. Pemerintah mengangkat orang Papua supaya mendukung pemerintah 'Sambori' ini. "Rakyat Indonesia dan Papua tak boleh dibohongi lagi," jelasnya.
Saifuddin lantas menyinggung penangkapan Bupati Mimika Eltinus Omaleng oleh KPK. Menurut Saifuddin, penangkapan itu bernuansa politik dan hanya untuk mengalihkan perhatian. "Eltinus Omaleng ini mengalihkan kasus mutilasi di Mimika, Ferdy Sambo, dan empat konflik papua. Saya tidak asal ngomong, karena saya punya darah Papua, semangat papua," klaimnya.
Syaifuddin menyebut Indonesia sekarang sedang babak belur dan gila hormat. Kaki tangan pemerintah dalam hal ini TNI dan Polri, kata ia, telah melakukan kejahatan kemanusiaan. "Dan itu penghinaan atas bangsa Papua itu sendiri," katanya.
Seperti diketahui, Bareskrim Polri sudah menetapkan status tersangka terhadap pendeta Saifuddin Ibrahim pada Maret 2022 lalu. Peningkatan status hukum tersebut, terkait dengan penyidikan penistaan agama Islam. Namun penetapan tersangka tersebut, belum berujung pada penangkapan dan penahanan.
Penistaan agama yang dilakukan pendeta Saifudin ini terjadi ketika ia menyampaikan terbuka, agar Kementerian Agama (Kemenag) menghapus 300 ayat suci dalam Alquran.
Kata pendeta asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, 300 ayat dalam kitab suci agama Islam itu, adalah penyebab suburnya paham radikalisme dan terorisme di Indonesia. Saifudin Ibrahim juga mengatakan, pondok pesantren, dan madrasah yang ada di Indonesia merupakan lembaga pendidikan pencetak terorisme, dan radikalisme.