REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Lelaki kelahiran Brussels, Belgia, itu menuturkan kisahnya dalam menemukan cahaya Islam.
Alumnus program beasiswa Erasmus Mundus tersebut lahir dari sebuah keluarga yang tidak begitu mementingkan agama. Ibunya enggan mengimani kepercayaan apa pun. Bahkan, ayahnya adalah seorang ateis garis keras.
Saat menjadi relawan sebuah lembaga nirprofit, ia berkesempatan mengabdi selama beberapa pekan di Bolivia. Salah satu negara underdeveloped tersebut berlokasi di Amerika Selatan. Di sana, dia bertemu dengan anak-anak yatim piatu. Beberapa dari mereka ditinggal mati orang tua yang tewas akibat bencana alam.
Saat sedang mengobrol dengan seorang anak, Stijn untuk pertama kalinya merasakan kesadaran religius dan pentingnya bersyukur. Anak yatim tersebut ketika ditanya perihal kondisinya justru menjawab dengan kata-kata yang menyentuh hati.