Rabu 04 Jan 2023 06:45 WIB

Para Terdakwa Kasus Migor Dijatuhi Vonis Hari Ini

Rencananya sidang vonis lima terdakwa kasus minyak goreng digelar pukul 10.00 WIB.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei (kanan). Rencananya sidang vonis terdakwa kasus minyak goreng digelar hari ini pukul 10.00 WIB
Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Terdakwa anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei (kanan). Rencananya sidang vonis terdakwa kasus minyak goreng digelar hari ini pukul 10.00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Persidangan kasus Persetujuan Ekspor (PE) minyak sawit mentah yang juga dikenal sebagai kasus minyak goreng (migor) segera mencapai puncaknya.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dijadwalkan membacakan vonis untuk para terdakwa pada Rabu (4/1). Sidang rencana digelar mulai pukul 10.00 WIB di ruang Muhammad Hatta Ali. 

Baca Juga

"Rabu 4 Januari 2023. Untuk putusan," tulis SIPP PN Jakpus yang dikutip pada Selasa (3/1/2023). 

Dalam persidangan tersebut, kelima terdakwa adalah mantan direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI, Indra Sari Wisnu Wardhana, mantan komisaris PT. Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor, mantan senior manager Corporate Affair PT VAL, Stanley MA, mantan general manager (GM) Bagian General Affair PT MM, Pierre Togar Sitanggang, serta mantan penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI), sekaligus Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.

Kasus tersebut terjadi saat di dalam negeri tengah berlangsung krisis migor, yang dipicu oleh melonjaknya harga minyak sawit di pasar internasional. Merespons kondisi itu, menteri perdagangan (mendag) yang pada awal tahun 2022 dijabat oleh Muhammad Lutfi, mengajak Lin Che Wei untuk memecahkan masalah krisis migor.

Pemerintah melalui Kemendag pada awal tahun 2022, akhirnya mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) serta Domestic Price Obligation (DPO). 

Melalui kebijakan itu, setiap perusahaan yang berniat memperoleh PE minyak sawit mentah dan sejumlah turunannya, wajib menyisihkan sebagian untuk kebutuhan pasar dalam negeri, atau DMO.

Minyak yang disisihkan untuk kebutuhan dalam negeri harganya harus sesuai dengan aturan pemerintah, atau DPO. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengakhiri krisis migor yang terbuat dari minyak sawit. 

PT. Wilmar Nabati Indonesia, PT VAL, serta PT MM, adalah sebagian perusahaan yang mengajukan PE ke Kemendag melalui sistem daring. Dalam pengajuan PE, perusahaan-perusahaan tersebut juga menyertakan sejumlah dokumen yang membuktikan bahwa mereka telah memenuhi persyaratan DMO dan DPO. 

Setelah ekspor dilakukan, ternyata krisis migor di dalam negeri belum juga berakhir. Belakangan diketahui, perusahaan-perusahaan tersebut memberikan dokumen yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Alhasil pemerintah terpaksa menggelontorkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang nilainya mencapai lebih dari Rp 6 triliun. Selain itu, penegak hukum juga mulai menjerat orang-orang yang terlibat di dalam kasus migor. 

Kelima terdakwa dituntut antara 7 - 12 tahun penjara. Selain para terdakwa dituntut mengganti kerugian negara akibat korupsi PE, mereka juga diminta mengganti anggaran BLT pemerintah, yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp 6 triliun. 

Sebelumnya, dalam persidangan yang digelar pada 6 Desember lalu, saksi ahli dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo, dalam kesaksiannya sempat mengakui bahwa dirinya menggunakan metode 'Input Output' dalam penghitungan kerugian negara, antara lain karena keterbatasan data.

Dia juga mengakui bahwa dirinya tidak menghitung pemasukan negara yang didapat dari ekspor yang sudah dilakukan para terdakwa. "Di dalam analisis, itu tidak saya perhitungkan, karena dilihat shortage-nya," ujar Rimawan. 

Dosen UGM itu menjelaskan bahwa analisisnya berfokus pada dampak dari yang dilakukan para terdakwa, terhadap krisis migor atau shortage yang terjadi di dalam negeri. Sehingga pemasukan negara yang didapat dari ekspor yang dilakukan seperti pajak dan bea cukai, tidak dipertimbangkan dalam penghitungan kerugian negara. 

Rimawan mengatakan bahwa ekspor yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut, telah memberikan manfaat kepada negara. Jika diberikan data-data soal manfaat yang didapat negara dari ekspor tersebut, dia mengaku bisa melakukan penghitungan.

Dia menyebut, jika manfaat yang berupa pemasukan untuk negara ikut dipertimbangkan, nilai kerugian negara yang tercantum dalam tuntutan para terdakwa bisa berkurang.

“Kalau itu (variabel manfaat) dimasukkan, angka kerugiannya akan turun lagi,” ujar Rimawan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement