Rabu 04 Jan 2023 14:49 WIB

Korsel Kaji Penangguhan Pakta Militer Antar-Korea

Korsel pertimbangkan penangguhan pakta militer antar-Korea yang dicapai pada 2018.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk-yeol mengatakan, dia akan mempertimbangkan penangguhan pakta militer antar-Korea yang dicapai pada 2018.
Foto: AP Photo/Ahn Young-joon
Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk-yeol mengatakan, dia akan mempertimbangkan penangguhan pakta militer antar-Korea yang dicapai pada 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL – Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk-yeol mengatakan, dia akan mempertimbangkan penangguhan pakta militer antar-Korea yang dicapai pada 2018. Langkah itu siap dia ambil jika Korea Utara (Korut) kembali melanggar wilayah udara Korsel.

"Presiden Yoon Suk Yeol menginstruksikan Kantor Keamanan Nasional untuk mempertimbangkan penangguhan perjanjian militer 19 September (2018) jika Korut melakukan provokasi lain yang melanggar wilayah kami," kata sekretaris senior presiden untuk urusan pers Kim Eun-hye kepada awak media, Rabu (4/1/2023), dikutip laman kantor berita Korsel, Yonhap.

Baca Juga

Instruksi Yoon muncul setelah pesawat nirawak (drone) Korut memasuki wilayah udara Korsel pekan lalu. Yoon mengkritik cara penanganan militer atas insiden tersebut. Sebagian kalangan menyalahkan ketergantungan pemerintahan Korsel sebelumnya pada pakta 2018 yang melarang kegiatan bermusuhan di daerah perbatasan.

Yoon telah mendesak militer bersiap melakukan aksi balasan jika Korut kembali melanggar wilayah negaranya. Dia memerintahkan menteri pertahanan untuk meluncurkan unit drone komprehensif yang melakukan misi multiguna, termasuk pengawasan, pengintaian, dan perang elektronik.

Tak hanya itu, Yoon pun sudah memerintahkan otoritas terkait di negaranya untuk memproduksi secara massal drone kecil yang sulit dideteksi. “Dia (Yoon) menyerukan percepatan pengembangan untuk memproduksi drone siluman tahun ini dan segera membangun sistem pembunuh drone,” kata Kim Eun-hye.

Sementara itu, pemimpin Korut Kim Jong-un telah menyerukan pengembangan rudal balistik antarbenua (ICBM) dan persenjataan nuklir lebih besar. Hal itu guna mempersiapkan negara tersebut dalam menghadapi dan melawan ancaman Amerika Serikat (AS).

Dalam pertemuan Partai Buruh Korut, Kim Jong-un menuduh AS berusaha mengisolasi negaranya. Dia pun menuding Washington mengerahkan aset serangan nuklirnya ke Korsel secara konstan dan belum pernah terjadi sebelumnya. “Situasi yang ada membutuhkan upaya berlipat ganda untuk memperkuat otot militer sebagai tanggapan atas gerakan militer yang mengkhawatirkan oleh AS dan pasukan musuh lainnya,” ujar Kim, dilaporkan kantor berita Korut, Korean Central News Agency (KCNA), Ahad (1/1/2023) lalu.  

Kim menilai, Korsel telah menjadi musuh Korut yang tak diragukan lagi. Hal itu karena Seoul sangat ingin membangun senjata berbahaya dan gerakan militer bermusuhan. “Ini menyoroti pentingnya dan perlunya produksi massal senjata nuklir taktis serta menyerukan peningkatan eksponensial persenjataan nuklir negara ini,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, peningkatan senjata nuklir akan menjadi orientasi utama dari strategi nuklir dan pertahanan Korut pada 2023. Menurut KCNA, sebagai bagian dari rencana itu, Korut akan berusaha mempercepat peluncuran satelit militer pertamanya. Artinya Pyongyang akan mempercepat pembangunan satelit mata-matanya.

Laporan KCNA dan pernyataan Kim soal pengembangan ICBM dan peningkatan kapasitas senjata nuklir muncul sehari setelah Korut meluncurkan tiga rudal balistik jarak pendek pada malam pergantian Tahun Baru. Rudal itu terbang sekitar 400 kilometer setelah diluncurkan dari daerah Ryongsong di ibu kota Pyongyang. Sepanjang 2022, Korut cukup intens melakukan uji coba rudalnya sehingga mengundang kecaman internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement