Rabu 04 Jan 2023 15:07 WIB

Ekonom: Selain Perppu, Penurunan Biaya Logistik Bisa Genjot Investasi

Pembangunan infrastruktur perlu berkorelasi dengan efisiensi logistik.

Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (27/12/2022). Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa penurunan biaya logistik bisa menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan investasi pada 2023 selain menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (27/12/2022). Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa penurunan biaya logistik bisa menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan investasi pada 2023 selain menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa penurunan biaya logistik bisa menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan investasi pada 2023 selain menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

"Menurunkan biaya logistik dari kondisi saat ini yang sebesar 23,5 persen PDB. Pembangunan infrastruktur perlu berkorelasi dengan efisiensi logistik," katanya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (4/1/2023).

Baca Juga

Selain menekan biaya logistik, pemerintah juga bisa meningkatkan promosi investasi ke negara alternatif sembari mengembangkan kawasan industri yang berdaya saing, termasuk mendorong peran aktif pemerintah daerah dalam menyelesaikan hambatan investasi di daerah. "Efektivitas pemberantasan korupsi didorong sehingga biaya perizinan jauh lebih rendah," tambahnya.

Mengenai Perppu Cipta Kerja, Bhima menilai Pemerintah perlu menjelaskan secara terbuka dan obyektif mengenai kriteria kegentingan yang memaksa penerbitannya. Sebagaimana Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, Presiden berhak menetapkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

"Pengertian atau batasan kapan dan bagaimana Presiden menentukan hal ihwal kegentingan mendesak tidak diatur secara jelas dalam UUD. Namun Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 telah menentukan tiga syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa," ujarnya.

Kegentingan tersebut, sambungnya, kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama.

Oleh karena itu CELIOS menilai pemerintah perlu segera menjelaskan kriteria kegentingan yang memaksa dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja lantaran asumsi makro ekonomi APBN 2023 diprediksi tumbuh positif dan tinggi yakni mencapai 5,3 persen.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo telah menandatangani Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja pada Jumat (30/12/2022). Perppu tersebut menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan melalui penerbitan Perppu diharapkan kepastian hukum bisa terisi dan menjadi implementasi dari putusan MK.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement