REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk-yeol mengatakan ia akan mempertimbangkan menangguhkan pakta militer antara-Korea tahun 2018. Bila Korea Utara (Korut) kembali melanggar ruang udara lagi.
Pernyataan ini disampaikan di tengah ketegangan akibat intrusi drone Korut. Yoon menerima pengarahan soal langkah balasan terhadap drone Korut yang melewati perbatasan Korsel pekan lalu.
"(Yoon menyerukan) untuk membangun kapabilitas respon yang kuat di atas tingkat proporsional," kata juru bicaranya Kim Eun-hye, Rabu (4/1/2023).
"Dalam rapat, ia menginstruksikan kantor keamanan nasional untuk mempertimbangkan validitas kesepakatan militer bila Korut kembali menggelar provokasi dengan melewati wilayah kami," kata Kim.
Pada tahun 2018 pemimpin Korut Kim Jong-un dan Presiden Korsel saat itu Moon Jae-in membuat kesepakatan militer. Dalam kesepakatan itu kedua negara haru untuk menahan "semua tindakan bermusuhan", menciptakan zona larangan terbang di sekitar perbatasan dan menyingkirkan semua ranjau darat dan pos penjaga di Zona Demiliterisasi.
Pemerintah kedua negara tidak menyebutkan berapa banyak ranjau dan pos yang disingkirkan. Dengan alasan keamanan.
Bila Korsel meninggalkan kesepakatan itu maka Seoul dapat mendirikan pos penjaga, menggelar latihan dengan peluru tajam di bekas zona larangan terbang dan menyebarkan propaganda melewati perbatasan. Langkah yang kerap membuat Pyongyang marah.
Selama berpuluh-puluh tahun hubungan dua negara Korea tidak pernah benar-benar bersahabat. Tapi semakin memanas saat Yoon berkuasa pada bulan Mei lalu. Ia berjanji mengambil sikap yang lebih tegas pada Pyongyang.
Dalam kampanye tahun lalu Yoon mengatakan Pyongyang berulang kali melanggar kesepakatan dengan meluncurkan rudal dan sudah memperingatkan ia mungkin akan membatalkan kesepakatan itu. Ia mengatakan nasib pakta militer tergantung pada sikap Korut.
Yoon mengkritik militer dalam menangani insiden drone Korut. Ia menyalahkan pemerintah sebelumnya yang tergantung pada pakta 2018. Ia mendesak militer untuk siap membalas meski resikonya meningkatkan ketegangan.
Juru bicara Kim Eun-hye mengatakan Yoon memerintahkan menteri pertahanan meluncurkan unit drone komprehensif untuk melaksanakan misi berbagai tujuan. Seperti termasuk pengintaian, pengawasan dan perang elektronik.
Presiden juga meminta kementerian pertahanan membangun sistem produksi massal drone kecil yang sulit dideteksi. "Ia juga meminta agar pembangunan drone siluman dipercepat pada tahun ini dan mempercepat pembangunan sistem pembunuh drone," kata Kim Eun-hye.
Sejak 2018 Angkatan Darat mengoperasikan dua skuadron drone di bawah Komando Operasi Darat. Tapi mereka dirancang untuk persiapan perang di masa depan.
Kementerian Pertahanan mengatakan berencana meluncurkan unit lain yang fokus pada fungsi pengintaian dan pengawasan terutama pada drone-drone kecil
"Unit yang akan datang akan melaksanakan tugas yang benar-benar berbeda, menggelar operasi di berbagai bidang," kata Menteri Pertahanan Lee Jong-sup pekan lalu di parlemen.
Pekan lalu Kementerian Pertahanan mengumumkan untuk meningkatkan kekuatan pasukan drone mereka akan menghabiskan 560 miliar won atau 440 juta dolar dalam lima tahun ke depan. Dana tersebut akan digunakan untuk teknologi seperti senjata laser udara dan perusak sinyal.