Rabu 04 Jan 2023 20:18 WIB

Kebijakan Taliban dan Penyerbuan Masjid Al-Aqsa Jadi Bahasan Turki-Uni Emirat Arab 

Turki dan Uni Emirat Arab membahas isu Taliban Afghanistan dan serbuan Masjid Al-Aqsa

Rep: Mabruroh/ Red: Nashih Nashrullah
 Jemaah Yahudi mengunjungi Temple Mount di kompleks Masjid Al-Aqsa, yang dikenal umat Islam sebagai Tempat Suci Mulia, di Kota Tua Yerusalem, Selasa, 3 Januari 2023. Itamar Ben-Gvir, seorang menteri Kabinet Israel ultranasionalis, mengunjungi flashpoint Situs suci Yerusalem Selasa untuk pertama kalinya sejak menjabat dalam pemerintahan baru sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pekan lalu. Kunjungan tersebut dilihat oleh warga Palestina sebagai provokasi.
Foto: AP/Maya Alleruzzo
Jemaah Yahudi mengunjungi Temple Mount di kompleks Masjid Al-Aqsa, yang dikenal umat Islam sebagai Tempat Suci Mulia, di Kota Tua Yerusalem, Selasa, 3 Januari 2023. Itamar Ben-Gvir, seorang menteri Kabinet Israel ultranasionalis, mengunjungi flashpoint Situs suci Yerusalem Selasa untuk pertama kalinya sejak menjabat dalam pemerintahan baru sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pekan lalu. Kunjungan tersebut dilihat oleh warga Palestina sebagai provokasi.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA — Para Menteri Luar Negeri Turki dan Uni Emirat Arab (UEA) pada Rabu (4/1/2023) membahas perkembangan terbaru di Afghanistan dan penyerbuan Masjid Al-Aqsa oleh Israel pada Selasa lalu. 

Dalam panggilan telepon, Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu dan Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Uni Emirat Arab, Sheikh Abdullah bin Zayed Al Nahyan membahas keprihatinan bersama atas larangan taliban baru-baru ini terhadap akses perempuan ke pendidikan dan pengucilan mereka dari organisasi non-pemerintah dan kemanusiaan nasional dan internasional  

Baca Juga

Menegaskan harapan Turki dari Afghanistan untuk membalikkan keputusannya tentang akses perempuan ke pendidikan, Cavusoglu juga menekankan pentingnya upaya terkoordinasi dalam hal ini, terutama melalui Organisasi Kerja Sama Islam. 

Menurut UEA, keputusan Taliban serta larangan sebelumnya pada anak perempuan untuk mengakses pendidikan menengah, melanggar hak asasi manusia yang mendasar.