BBM Turun, Pakar: Peluang Titik Balik Kebangkitan Ekonomi
Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
Petugas mengganti papan harga BBM di salah satu SPBU setelah pemerintah resmi mengumumkan penurunan harga BBM jenis Pertamax dari Rp 13.900 per liter menjadi Rp 12.800 per liter, Pertamax Turbo dari Rp 15.200 per liter menjadi Rp 14.050 per liter, Dexlite dari Rp 18.300 per liter menjadi Rp 16.150 per liter dan Pertamina Dex dari Rp 18.800 per liter menjadi Rp 16.750 per liter yang mulai berlaku per 3 Januari 2023 pukul 14.00 WIB. Republika/Putra M. Akbar | Foto: Republika/Putra M. Akbar
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pakar kebijakan publik Universitas 'Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Gerry Katon Mahendra, menyoroti terkait adanya penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah pusat. Menurutnya, penurunan harga BBM ini merupakan langkah yang tepat dilakukan.
Penurunan harga BBM sesuai dengan perubahan harga minyak mentah dan harga produk minyak dunia. Meski begitu, Gerry mengatakan, seharusnya pemerintah bisa menangkap peluang dari kondisi tersebut.
"Jika bicara dampak yang lebih luas, seharusnya pemerintah Indonesia juga bisa menangkap peluang menjadikan momen ini sebagai titik balik proses kebangkitan ekonomi dalam negeri," kata Gerry yang juga Ketua Program Studi S1 Administrasi Publik, Fakultas Ekonomi, Ilmu Sosial dan Humaniora Unisa Yogyakarta, (4/1).
Penurunan harga BBM disampaikan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, yang mana mengumumkan penyesuaian harga jual produk-produk BBM non subsidi atau jenis bahan bakar umum (JBU) milik PT Pertamina (Persero).
Untuk produk jenis bensin Pertamax (RON 92) disesuaikan menjadi Rp 12.800 per liter, atau turun Rp 1.100 dari sebelumnya Rp 13.900 per liter. Kemudian, Pertamax Turbo (RON 98) turun harga dari Rp 15.200 per liter menjadi Rp 14.180 per liter, sejak penyesuaian harga terakhir dilakukan pada 1 Desember 2022.
Untuk produk jenis diesel, yakni Dexlite (CN 51), harganya menjadi Rp 16.150 per liter atau turun dari sebelumnya Rp 18.300 per liter. Sedangkan, Pertamina Dex (CN 53) mengalami penyesuaian harga menjadi Rp 16.750 per liter dari sebelumnya Rp 18.800 per liter.
Meskipun yang terdampak turun baru sampai pada level BBM non subsidi, namun juga Gerry mengingatkan bahwa mayoritas penggerak utama roda ekonomi dalam negeri yakni masyarakat yang mengkonsumsi BBM jenis Pertalite dan Bio Solar. Pertalite dan Bio Solar sendiri dikategorikan sebagai BBM bersubsidi.
Seharusnya, lanjut Gerry, pemerintah juga harus berani membuka peluang untuk menurunkan harga Pertalite dan Bio Solar. Pasalnya, penurunan harga tersebut dapat menjaga momentum kebangkitan ekonomi di Indonesia.
"Kita ketahui bersama bahwa di tahun 2023 ini isu resesi secara global selalu menggema, termasuk juga di Indonesia. Dengan adanya opsi penurunan BBM bersubsidi, bisa saja menjadi stimulus baik bagi negara dalam menangkal resesi ekonomi," ujar Gerry.
Selain itu, Gerry juga menyinggung terkait pernyataan pemerintah yang menyebut Indonesia cukup kebal terhadap resesi. Menurutnya, kebal resesi salah satunya dapat diwujudkan dengan menyesuaikan kembali harga Pertalite dan Bio Solar.
"Seharusnya harga Pertalite dan Bio Solar juga dapat kesempatan turun mengikuti harga minyak, tentu dengan perhitungan yang tepat. Sehingga turunya harga BBM subsidi tadi bisa menjadi pelecut semangat masyarakat untuk berproduksi dan bergeliat mobilitas ekonominya, yang berujung pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, sehingga isu resesi tersebut semakin menjauh," jelasnya.
Awal tahun 2023 lanjut Gerry, dapat dijadikan momentum baru melalui penyesuaian harga BBM bersubsidi dengan kerangka APBN. Hal ini apabila dapat diwujudkan, bisa menjadi angin segar bagi pelaku usaha, peningkatan ekonomi, dan menjadi formula penurunan laju inflasi.
"Tinggal bagaimana pemerintah menangkap momentum ini untuk menjadi sebuah kebijakan yang akan cukup populer di mata masyarakat," kata Gerry.