Kamis 05 Jan 2023 06:52 WIB

KPK Ungkap 244 Kasus Mafia Tanah dalam 4 Tahun Terakhir

KPK berhasil mengungkap sebanyak 244 kasus mafia tanah dalam empat tahun terakhir.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah massa aksi melakukan unjuk rasa terkait kasus mafia tanah. KPK berhasil mengungkap sebanyak 244 kasus mafia tanah dalam empat tahun terakhir.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah massa aksi melakukan unjuk rasa terkait kasus mafia tanah. KPK berhasil mengungkap sebanyak 244 kasus mafia tanah dalam empat tahun terakhir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan, ada ratusan kasus mafia tanah yang harus menjadi perhatian Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Data ini berdasarkan kajian Direktorat Monitoring KPK dalam empat tahun terakhir.

"Dalam periode ini ditemukan sebanyak 244 kasus mafia tanah," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron dalam keterangan tertulis resminya, Rabu (4/1/2023).

Baca Juga

Selain itu, sambung dia, dalam periode yang sama, pihaknya juga menemukan telah terjadi sebanya 31.228 kasus pertanahan. Rinciannya, 37 persen kasus sengketa; 2,7 persen konflik; dan 60 persen perkara.

Adapun masalah klasik sengketa agraria yang ditemukan adalah tumpang tindih Hak Guna Usaha (HGU). Melalui Kajian ‘Pemetaan Korupsi Layanan Pertanahan Tahun 2022’, KPK memotret bahwa sengketa ini terjadi karena proses sertifikat luas HGU di Indonesia masih banyak yang belum terpetakan.

“Sertifikat HGU yang belum terpetakan mencapai 1.799 sertifikat dengan luas mencapai 8,3 juta hektare,” ungkap dia.

Ghufron mengatakan, penyebab terjadinya kasus tersebut karena pengukuran tanah sebelumnya masih menggunakan koordinat lokal atau berdasarkan tanda alam, belum menggunakan sistem proyeksi turunan sistem koordinat Universal Transverse Mercator (TM-3), dan terbitnya SK penetapan Kawasan hutan dan Perda RTRW kawasan hutan setelah HGU terbit.

Fakta ini didapati setelah KPK melakukan analisis data terhadap 299 berkas layanan HGU tahun 2021 dari Sistem Komputerisasi Kantor Pertanahan mulai dari pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan di 25 provinsi. Pada saat yang sama KPK juga melakukan pengujian standar layanan Service Level Agreement (SLA).

Menurut dia, yang selama ini banyak terjadi adalah di atas satu bidang tanah terbit beberapa sertifikat dan kemudian dilaporkan kepada BPN. Namun, BPN sebagai pemangku kepentingan seakan lepas tanggung jawab dan konflik bergulir di pengadilan.

“Ketika ada masalah seakan-akan penyelesaiannya di pengadilan, yang semestinya negara itu profesional mengatakan mana yang benar dan salah. Seakan-akan tidak mau ambil risiko dan rakyat yang berjuang sendirian. Kami berharap ada perbaikan dari teman-teman BPN,” ujarnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan menjelaskan, dalam beberapa periode terakhir, KPK juga menangani kasus korupsi pertanahan di Indonesia. Diantaranya, yakni suap HGU di BPN Riau dan Kalimantan Barat.

Pahala menyampaikan, setelah dilakukan monitoring, konflik HGU disebabkan oleh lemahnya pengawasan. Dimana Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2021 tidak mengatur sanksi tegas terkait pelanggaran kewajiban HGU.

Kemudian, pengawasan atau pemeriksaan kepatisan HGU sejauh ini masih minim karena hanya dilakukan secara sampling satu pemegang HGU/Kantah per tahun.

“(Penyebabnya) minim anggaran pengawasan HGU dan tidak dibangun mekanisme pengawasan berbasis risiko dan teknologi. Akibatnya terjadi ketidakpatuhan pelaksanaan kewajiban pemegang HGU dan potensi tumpang tindih tinggi,” ungkap Pahala.

Di sisi lain, KPK juga menemukan penyimpangan SOP penerbitan HGU masih marak terjadi. Ditemukan 61 persen pelayanan HGU tahun 2021 melebihi SLA.

Pelbagai penyimpangan ini, jelas dia, disebabkan karena tidak adanya pedoman atau petunjuk teknis penilaian kesesuaian berkas HGU untuk pemeriksa dokumen di BPN. Selain itu, belum ada integrasi data antar-instansi terkait (KLHK, Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian) untuk memastikan proses verifikasi atau pemeriksaan akurat.

“Akibatnya proses HGU yang menjadi kewenangan pusat memakan waktu lama dan (terdapat) potensi suap atau pungli untuk mempercepat layanan,” ujar Pahala.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement