Pakar Hukum UNS: Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Lemahkan Party-ID

Red: Fernan Rahadi

Suasana rapat pleno Rekapitulasi Nasional Hasil Verifikasi dan Penentapan Partai Politik Calon Peserta Pemilu Tahun 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Suasana rapat pleno Rekapitulasi Nasional Hasil Verifikasi dan Penentapan Partai Politik Calon Peserta Pemilu Tahun 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (14/12/2022). | Foto: Republika/Prayogi

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Menanggapi usulan kembali menerapkan sistem proporsional tertutup pada Pemilu tahun 2024, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto, menyoroti dua kelemahan sistem Pemilu berbasis Caleg. Kelemahan tersebut berdasarkan evaluasi pelaksanaan Pemilu tahun 2009, 2014 dan 2019 yang menerapkan sistem proporsional terbuka dengan penentuan Caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. 

"Pertama, melemahkan Identifikasi Diri dengan Partai (Party-ID). Party-ID merupakan perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya. Party-ID ini merupakan komponen psikologis yang akan memberikan sumbangan bagi stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian yang bisa memperkuat demokrasi," ujar Agus. 

Agus Riewanto kemudian mengutip hasil survei nasional yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada bulan Februari 2021, yang menunjukkan bahwa Party-ID masyarakat Indonesia sangat rendah. Bahwa 92,3 persen dari 1.200 responden yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia menyatakan tidak ada kedekatan dengan partai politik tertentu (Party-ID). 

Hal ini menunjukkan sentimen terhadap partai rendah sekali. Kalau sentimen terhadap partai baik, pemilih akan merasa diwakili oleh partai. 

Demikian pula hasil survei nasional Litbang Kompas pada Januari 2022 menunjukkan lemahnya Party-ID di Indonesia. Dari 1.200 responden yang disurvei  tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, yang menyatakan bahwa 67,3 persen pemilih tidak ada ikatan Party-ID, sedangkan pemilih yang menyatakan ada ikatan Party-ID hanya 23,8 persen. 

Selain melemahkan Party-ID, persoalan kedua yang disebabkan oleh sistem proporsional terbuka adalah melahirkan fenomena anti partai politik atau deparpolisasi yang berdampak buruk bagi bangunan demokrasi di Indonesia. 

"Terjadi perubahan pilihan pemilih dari satu partai politik ke partai politik lain, dari satu Pemilu ke Pemilu selanjutnya (electoral volatility). Sehingga Pemilu menghasilkan perubahan dramatis yang ditandai naik-turunnya dukungan pemilih terhadap partai layaknya roller coaster," ujar Agus. 

Dampak buruknya, kata dia, Pemilu hanya bergantung pada figur atau kandidat (Caleg). "Sehingga pemilih lebih mempertimbangkan pada Caleg yang popular dan bermodal uang bukan pada kesamaan Party-ID," kata Agus.  

Terkait


Sistem Pemilu Berbiaya Tinggi Dinilai Picu Politik Uang dan Korupsi

Ketua KASN: Tak Masalah ASN Jadi Panitia Pemilu

Di Hadapan Hasto, Sekjen Nasdem: Kita Harus Jaga Soliditas

Partisipasi Pemilih pada Pemilu 2024 di Bandung Diharapkan Meningkat

Tingkat Kepuasan Terhadap Jokowi, Dongkrak Elektabilitas Ganjar-Erick

Republika Digital Ecosystem

Kontak Info

Republika Perwakilan DIY, Jawa Tengah & Jawa Timur. Jalan Perahu nomor 4 Kotabaru, Yogyakarta

Phone: +6274566028 (redaksi), +6274544972 (iklan & sirkulasi) , +6274541582 (fax),+628133426333 (layanan pelanggan)

[email protected]

Ikuti

× Image
Light Dark