Tabrani selaku redaktur juru karangan Hindia Baroe tersinggung ketika pemerintah ternyata hanya mengundang pers Belanda jika ada sidang-sidang Volksraad. “Pemerintah tak diwajibkan mengundang kita. Tapi kita tak dapat tinggal diam-diam saja melihat pemerintah mengundang pers bangsa ‘dipertuan’ tapi tak mengundangnya pers bangsa kita,” tulis Tabrani di Hindia Baroe edisi 6 Februari 1926.
Padahal, kata Tabrani, pers Indonesia cukup banyak, bahkan lebih banyak dari pers Belanda Kalaupun kemudian pers Indonesia menerima kiriman laporan sidang-sidang Volksraad, itu pun dalam bahasa Belanda. Padahal, hanya sedikit orang Indonesia yang mengerti bahasa Belanda. “dan lagi, surat kabar kita bukan surat kabar Belanda,” kata Tabrani.
Tabrani sudah menunjukkan rasa jengkel-marahnya sejak awal tulisan. “Sudah lebih dari bosen kita membicarakan tentang badan-badan-perwakilan-yang-bukan-perwakilan di sini. Bosen bukan disebabkan kita sudah putus asa dalam ‘tarung-bertarung’ dengan pihak sana. Semata-mata tidak! Kita merasa bosen, disebabkan kita seolah-olah mengetuk kepada pintu rumah seorang yang tuli, lebih dari tuli. Suara nyaring, teriak-tangis dan keluh-kesah kita diterimanya dengan ayem-ayeman saja. Padahal satu pemerintah senantiasa diwajibkan mendengarkan dan menghapuskan keadaan-keadaan yang ssungguh dicela oleh rakyat, asal saja celaan itu beralasan,” tulis Tabrani.
Volksraad ada untuk kepentingan bangsa Indonesia yang jumlahnya lebih banyak daripada bangsa Eropa yang ada di Indonesia. Tapi Volksraad yang diledek tabrani sebagai badan-perwakilan-yang-bukan-perwakilan itu kerjanya belum untuk kepentingan bangsa Indonesia. Dalam tulisan berjudul “Pemerintah dan Ra’jat” itu, Tabrani pun mempertanyakan alasan Volskraad tetap memakai bahasa Belanda di dalam sidang-sidangnya.
Pers-Tionghoa-Melajoe dan Pers bangsa kita banjaklah. Djadi apakah ta’ sepantasnja berita-berita Volksraad itoe disiarkannja djoega dalam bahasa Indonesia? Jaitoe bahasa jang sehari-hari diseboetnja bahasa Melajoe-gampang?
Tapi, Tabrani menegaskan bahwa kemarahannya muncul bukan karena pers Indonesia yang “diibutirikan”, melainkan karena keperluan segala bangsa di Indonesia yang bukan ‘bangsa dipertuan’-lah yang diibutirikan. “Bangsa dan pembaca kita minta bahasa Indonesia,” kata Tabrani.
Menutup tulisannya, Tabrani menegaskan:
“Dari itoe pemerintah diwadjibkan –jaitoe djika pemerintah soenggoeh maoe mementingkan keperloean kita dan bekerdja bersama2 kita—meoeraikan segala berita-bertanja dalam bahasa Indonesia (Melajoe-gampang) dan bahasa Belanda. Soedilah apa kiranja pemerintah mendengarkan soeara kita ini. Kita menanti!” tulis Tabrani.
Koran Hindia Baroe edisi 6 Februari 1926 ini menjadi bukti, inilah kali kedua Tabrani menyebut nama bahasa Indonesia. Ia menyebutnya sebanyak tiga kali. Kali ini disertai dengan penjelasan pendek bahwa yang ia maksud bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu-gampang. Oohya! Untuk tahu pertama kalinya Tabrani menyebut nama bahasa Indonesia, baca ini ya: Koran Hindia Baroe Ini Jadi Bukti Nama Bahasa Indonesia Disebut untuk Pertama Kalinya.
Priyantono Oemar
Oohya! Jangan dilewatkan juga: Sebelum Kongres Pemuda Indonesia Kedua, Soenario Pun Sudah Ikut Menyebut Nama Bahasa Indonesia.