REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Organisasi hak asasi manusia (HAM) Hengaw melaporkan Iran menghukum mati dua aktivis LGBTQ atas tuduhan mempromosikan homoseksualitas. Hengaw merupakan organisasi yang mendokumentasikan pelanggaran HAM di Kurdistan.
“Pengadilan Revolusi Urmia menjatuhi hukuman mati pada Zahra Sediqi Hamedani yang dikenal sebagai 'Sareh,' 31 tahun dari Naqadeh, dan Elham Chubdar, 24 tahun dari Urmia, keduanya aktivis komunitas LGBT, dalam kasus tuduhan 'Mengkorupsi Bumi' dengan mempromosikan homoseksualitas,” kata Hengaw seperti dikutip The Jerusalem Post, Kamis (5/1/2023).
"Vonis sudah disampaikan kepada mereka beberapa hari yang lalu di penjara perempuan di Pusat Penjara Urmia," tambah lembaga itu. Urmia merupakan kota di Provinsi Azerbaijan Barat, Iran.
Akun Twitter berita 1500tasvir juga melaporkan vonis hukuman mati itu. “Aktivis hak-hak homoseksual #Zahra_Seddighi (31) dan #Elham Choobdar (24) telah dijatuhi hukuman mati.”
Dalam laporannya Hengaw mencatat Zahra Sediqi Hamadani dicabut haknya untuk mendapatkan pengacara selama penahanan. Petugas keamanan mengancamnya dengan eksekusi dan mencabut hak asuh kedua anaknya. Ia juga mengalami pelecehan verbal karena identitas dan penampilannya.
Hengaw menambahkan selain dituduh "mempromosikan homoseksualitas" dua perempuan itu divonis "mempromosikan Kristen" dan "berkomunikasi dengan media yang menentang Iran."
Pada Desember lalu The Jerusalem Post melaporkan penangkapan aktivis HAM Zahra. Aktivis LGBTQ dan HAM dari Inggris Peter Tatchell mengatakan Zahra Sediqi Hamedani dan Elham Chubdar sama-sama dituduh sebagai aktivis LGBTQ dan divonis mati atas dakwaan 'Mengkorupsi Bum'.
"Dakwaan mengerikan yang dapat menangkap semua orang ini kerap digunakan Pada kritikus rezim dan mereka yang mengungkapkan pendapatnya yang tidak sesuai dengan Islam ortodoks, eksekusi hasil yang sudah biasa," katanya pada The Jerusalem Post.
"Selama 10 bulan ditahan Zahra dilaporkan tidak memiliki akses ke pengacara. Iran terkenal pada pengadilan yang tidak adil dan ini sangat mungkin terjadi pada kedua wanita ini," tambahnya.
"Mereka mungkin digantung dengan menggunakan metode barbar yang lama, dengan pencekikan perlahan; metode favorit rezim Iran untuk memaksimalkan penderitaan para korban."
Kasus-kasus ini menunjukkan kediktatoran rezim Iran terhadap aktivis HAM. Pakar Iran dan peneliti di The Institute for the Study of Global Antisemitism and Policy, Prof. Jessica Emami mengatakan Iran memperlakukan kelompok LGBTQ dengan kekejian dan barbar.
"Masyarakat LGBTQ Iran berusaha keras menghindari hukuman penjara dan mati dengan melarikan diri dari Iran. Sara berusaha melakukannya saat ia dijerat milisi IRGC (Garda Revolusi Iran), sekarang rezim menyebarkan rumor palsu di media dan mengkambing hitamkan Sara. Saya memohon pada organisasi HAM untuk menghubungi rezim meminta Sara segera dibebaskan," katanya.
Sheina Vojoudi melarikan diri dari Iran karena kekejian dan kebiadaban rezim. Pada bulan Desember yang lalu ia mengatakan berita tentang hukuman mati para aktivis HAM dan LGBTQ tidak lagi mengejutkan. Ia mengatakan rezim mencampuri sebagian besar kehidupan pribadi warga Iran.
"Rezim Iran ingin memperbudak kami, menjadikan kami pasukan budak yang siap mati demi ideologi rezim. Rezim ingin memutuskan pilihan seluruh bangsa, ingin memutuskan sampai hasrat seksual rakyat, hubungan suami dan istri dan jumlah anak mereka, kepercayaan kami, cara kami berpikir.
"Rezim memutuskan negara mana yang harus kami benci dan negara mana yang harus kamu cintai dan bila keputusan yang kami ambil sendiri bertentangan dengan kehendak rezim Mullah, kami akan dianggap sebagai bahaya terhadap keamanan nasional."