Kamis 05 Jan 2023 15:25 WIB

Industri Manufaktur Nasional Disebut Alami Gejala Deindustrialisasi Dini

Kinerja industri manufaktur Indonesia masih di bawah Cina, Korsel, Thailand, Malaysia

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Lida Puspaningtyas
Pengamat Ekonomi Faisal Basri memberikan paparan saat Indonesia Economic and Financial Sector Outlook (IEFSO) 2018 di Jakarta, Kamis (7/12). Pada acara ini membahas peluang pertumbuhan perekonomian di tahun depan. Dibawah bayang hutang luar negeri yang bertambah.
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Pengamat Ekonomi Faisal Basri memberikan paparan saat Indonesia Economic and Financial Sector Outlook (IEFSO) 2018 di Jakarta, Kamis (7/12). Pada acara ini membahas peluang pertumbuhan perekonomian di tahun depan. Dibawah bayang hutang luar negeri yang bertambah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menilai, kontribusi industri manufaktur terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun. Pada kuartal III 2022 kontribusinya sebesar 18,3 persen, sementara pada 2021 mencapai 29,1 persen.

"Maka ada gejala deindustrialisasi dini di sektor industri manufaktur kita. Ini alami perlambatan sebelum mencapai waktunya atau titik optimumnya," ujar Faisal dalam diskusi publik secara virtual, Kamis (5/1/2023).

Baca Juga

Ia menuturkan, negara lain seperti Vietnam akan menyalip Indonesia dari sisi kontribusi sektor industri terhadap PDB negaranya masing-masing. Kinerja industri manufaktur nasional ke PDB pun masih di bawah China, Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia.

Jika industri melemah, tegasnya, kelas menengah terpengaruh. "Kelas menengah jadi memble, sehingga lapisan buruh formal relatif sedikit, karena struktur manufaktur lemah yang kita bisa jual ke luar juga terbatas. Manufakturnya jadi makin tergantung ekspor komoditas," jelas Faisal.

Ia pun menyebutkan, kontribusi ekspor produk manufaktur ke kinerja ekspor Indonesia pada 2021 lebih rendah dibandingkan beberapa negara lain. Mengutip data Bank Dunia dalam World Development Indicators, Faisal mengatakan, kontribusi ekspor barang manufaktur Indonesia pada 2021 sebesar 44,9 persen.

Angka itu lebih rendah dibandingkan rata-rata kontribusi ekspor manufaktur negara berpendapatan menengah atas atau upper middle income yang sebesar 81,5 persen. Bahakan lebih rendah pula dibandingkan dengan Malaysia dengan kontribusi sekitar 68,1 persen, Filipina 79,7 persen, Vietnam sebesar 86,4 persen, Korea Selatan 89,6 persen, dan China 93,6 persen.

Hal itu menurutnya, karena keterbatasan kinerja industri manufaktur Indonesia. 'Struktur manufaktur yang lemah, membuat produk outputnya menjadi terbatas untuk dikirim ke luar negeri (ekspor). Kita makin bergantung dengan ekspor komoditas," jelas dia.

Keterbatasan tersebut terlihat dari industri manufaktur Indonesia yang kurang beragam. Kebanyakan berupa industri makanan dan minuman serta industri kimia dan obat-obatan.

"Struktur ekspor Indonesia jomplang dibandingkan negara lain, karena negara lain menggunakan otak, kita (Indonesia) menggunakan otot. Bahkan manufakturnya itu less diversifikasi, jadi industri kita melambat sangat bergantung ke segelintir sub sektor industri yakni makanan minuman dengan kontribusi hampir 40 persen sendiri ditambah industri kimia dan farmasi dan herbal itu menyumbang 50 persen dari total industri manufaktur non migas," tegas Faisal.

Sebelumnya, S&P Global mencatat Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia sebesar 50,9 pada Desember 2022, naik dari November yang berada di 50,3. Sektor manufaktur Indonesia dinilai terus berekspansi di penghujung 2022.

Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence Jingyi Pan mengatakan, data PMI Manufaktur Indonesia pada Desember 2022 menunjukkan, sektor manufaktur Indonesia membaik pada akhir tahun ini. Membaiknya sektor manufaktur ini lantaran ada kenaikan permintaan yang mendukung kenaikan produksi.

Hal itu turut meningkatkan aktivitas pembelian dan juga penciptaan lapangan pekerjaan. "Ekspansi lebih cepat pada output dan penjualan dan juga berkurangnya tekanan harga merupakan perbaikan yang diharapkan," jelas Jingyi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement