Jumat 06 Jan 2023 13:47 WIB

Kala Pemerintah Pede Kita tak akan Seperti China dan Peringatan dari Ahli Epidemiologi

PPKM dicabut, pemerintah pede lonjakan covid seperti di China tak terjadi di sini.

Red: Andri Saubani
 Warga berjalan di jalur pejalan kaki dengan sebagian tidak mengenakan masker di Jakarta, Kamis (5/1/2023). Pemerintah pada 30 Desember 2022 resmi mencabut penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Covid-19 yang diberlakukan sejak dini. 2021 hingga untuk mencegah meluasnya virus corona SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit COVID-19.
Foto: EPA-EFE/ADI WEDA
Warga berjalan di jalur pejalan kaki dengan sebagian tidak mengenakan masker di Jakarta, Kamis (5/1/2023). Pemerintah pada 30 Desember 2022 resmi mencabut penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Covid-19 yang diberlakukan sejak dini. 2021 hingga untuk mencegah meluasnya virus corona SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Antara

Pemerintah Indonesia percaya diri bahwa, lonjakan kasus Covid-19 di China tidak akan terjadi di Tanah Air. Status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pun dicabut dan Indonesia kini berada pada masa transisi dari pandemi ke endemi.

Baca Juga

Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, terkendalinya angka Covid-19 di Indonesia karena sistem kekebalan tubuh masyarakat telah terbentuk. Masyarakat yang telah mendapat vaksinasi dan kemudian terinfeksi, membuat imunitas menjadi lebih kuat.

Berbeda halnya dengan di China. Menurut Budi, China yang menerapkan penguncian wilayah yang ketat membuat imunitas alami masyarakat tidak terbentuk, sehingga terjadi lonjakan kasus.

"Kita, alhamdulillah imunitas penduduk kita kuat, kombinasi dari vaksinasi dan infeksi. Jadi, ada yang secara buatan kita suntik, tapi secara alamiah terjadi. Jadi, di China karena lockdown-nya sangat ketat, yang alamiah itu tidak sebanyak di Indonesia, tidak terbentuk," kata Budi, Selasa (3/1/2022) lalu.

Berkaca pada kondisi tersebut, pemerintah kemudian mencabut aturan PPKM. Pemerintah merasa tidak lagi perl mengetatkan kegiatan masyarakat karena sudah memiliki tingkat imunitas yang tinggi.

Adapun terkait penularan varian BA.5, BA.2.75 dan BF7 yang diduga menjadi pemicu lonjakan kasus Covid-19 di Eropa dan China saat ini, menurut Budi, kasusnya juga sudah ditemukan di Indonesia. Namun, kata dia, Indonesia sudah melewati fase puncak kenaikan kasus BA5.2 dan B.2.75.

Saat dunia disibukkan dengan kenaikan dua varian tersebut, Indonesia justru angka kasusnya telah menurun. Sementara varian BF7 yang teridentifikasi di Indonesia pada Juli 2022 di Bali tak membuat kenaikan kasus secara signifikan. 

 

"Jumlah kasus BF7 (terkonfirmasi) 15, dan tidak ada pergerakan naik," kata dia.

Ke depannya, menurut Budi, mobilitas atau pergerakan masyarakat tidak akan terlalu memengaruhi lonjakan kasus Covid-19. Kemunculan varian-varian baru virus Corona-lah yang memicu kenaikan kasus.

"Memang lonjakan gelombang Covid-19 disebabkan oleh varian baru, data saintifiknya begitu, bukan oleh pergerakan atau mobilitas, itu minor," ujar Budi.

 

 

 

 

Ahli Epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menilai sangat berbahaya dan tidak berperikemanusiaan bila menyebut imunitas penduduk Indonesia luar biasa kuat karena adanya kombinasi dari vaksinasi dan infeksi Covid-19. Ia meminta jangan sampai ada pemahaman membiarkan masyarakat terinfeksi Covid-19 secara alamiah agar imunitas terbentuk dengan sendirinya.

"Ini salah dan berbahaya, karena imunitas alamiah itu dalam konteks membiarkan masyarakat terinfeksi secara alami sangat tak manusiawi dan itu menyebabkan kematian. Bukan kekebalan yang muncul tapi kematian," ujar Dicky saat dikonfirmasi Republika, Rabu (4/1/2023).

Saat ini, lanjut Dicky, fakta ilmiah membuktikan efektivitas vaksinasi sudah jauh menurun dalam memberikan proteksi dan menekan angka penularan tidak. Namun, vaksinasi hingga kini terbukti masih berfungsi untuk mencegah fatalitas hingga kematian.

"Tapi karena subvarian mutasi terus ini jadi petaka bagi China, modal imunisasi yang mereka gunakan tak mampu memproteksi mereka," tutur Dicky.

Karena, selama ini China hanya menggunakan vaksin buatan mereka. Padahal untuk subvarian Omicron vaksin yang efektif untuk menangkal adalah messenger RNA (mRNA) Covid-19 .

"Ilmu pengetahuan juga membuktikan efektifnya mRNA menjadi booster, namun karena politik di China mereka tidak mau memakai vaksin itu, baru sekarang mereka mau. Jadi ini masalah imunitas ya, bukan hanya dibiarkan terinfeksi, salah besar itu dan berbahaya," tegasnya.

 

photo
Karikatur opini Varian Baru Covid-19 - (republika/daan yahya)

 

Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
اَلَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ عَهِدَ اِلَيْنَآ اَلَّا نُؤْمِنَ لِرَسُوْلٍ حَتّٰى يَأْتِيَنَا بِقُرْبَانٍ تَأْكُلُهُ النَّارُ ۗ قُلْ قَدْ جَاۤءَكُمْ رُسُلٌ مِّنْ قَبْلِيْ بِالْبَيِّنٰتِ وَبِالَّذِيْ قُلْتُمْ فَلِمَ قَتَلْتُمُوْهُمْ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
(Yaitu) orang-orang (Yahudi) yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kami, agar kami tidak beriman kepada seorang rasul, sebelum dia mendatangkan kepada kami kurban yang dimakan api.” Katakanlah (Muhammad), “Sungguh, beberapa orang rasul sebelumku telah datang kepadamu, (dengan) membawa bukti-bukti yang nyata dan membawa apa yang kamu sebutkan, tetapi mengapa kamu membunuhnya jika kamu orang-orang yang benar.”

(QS. Ali 'Imran ayat 183)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement