JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Penurunan tanah di Semarang dan Jakarta disebabkan pengambilan air tanah yang berlebihan dan melebihi kapasitasnya. Tanah di dua kota tersebut terbentuk dari aluvial, hasil endapan sungai sehingga mudah mengalami pemadatan dan rentan terhadap penurunan tanah. Akibatnya, dua kota besar tersebut sering mengalami kebajiran saat hujan lebat.
Dosen Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Heri Sutanta, PhD, mengemukakan hal tersebut kepada wartawan di Yogyakarta, Jumat (6/1/2023). Penurunan tanah ini juga dialami kota-kota besar Indonesia yang berada di daerah pesisir, seperti Samarinda, Makassar, Kupang dan Ambon.
BACA JUGA : Pakar Transportasi UGM : WFH Bukan Solusi Atasi Kemacetan Jakarta, Ini Sarannya
Dijelaskan Heri Sutanta, tanah di daerah pesisir terbentuk dari aluvial, hasil endapan sungai yang mudah mengalami pemadatan dan akhirnya penurunan tanah. “Hasil penelitian kita di Semarang, kondisi di Jakarta juga sama, penurunan tanah dipercepat oleh pemanfaatan air tanah yang berlebihan dan melebih kapasitas," kata Heri kepada wartawan menanggapi bencana banjir yang sering melanda kota besar di sepanjang Pantai Utara Jawa.
Berdasarkan hasil penelitiannya, daerah tangkapan air Kota Semarang dulunya terdapat banyak kebun, tanah tegalan dan ruang terbuka. Namun kemudian berubah menjadi kompleks perumahan, kawasan industri dan pembangunan infrastruktur lainnya. Hal ini menyebabkan berkurangnya Cekungan Air Tanah (CAT) Semarang.
Menurut Heri Sutanta, di Semarang kenaikan air laut global saat ini mencapai 3-5 milimeter per tahun sementara penurunan tanah mencapai 9 cm. “Ada kenaikan penurunan tanah 30 kali lebih besar dibanding kenaikan air laut global,” kata Heri Sutanta.
Menurutnya, faktor lokal penurunan tanah ini lebih berdampak pada kenaikan relatif permukaan laut di Semarang dan Jakarta. Bahkan percepatan penurunan tanah ini menyebabkan dua kota ini Semarang dan Jakarta sering dilanda banjir saat curah hujan tinggi karena posisi daratan di pesisir lebih rendah dari air permukaan laut.
BACA JUGA : Cegah Kekeringan, UGM Pasang Geomembrane di Embung Selopamioro, Keren!
Untuk mengatasinya, kata Heri Sutanta, harus dilakukan secara komprehensif. Daerah pemukiman dan industri yang ada saat ini di kawasan pesisir dapat dilindungi dengan tanggul laut. Selain itu, juga dipersiapkan banyak pompa untuk mengalirkan air dari drainase ke sungai besar yang aliran airnya menuju laut. “Harus ada pompa yang disiapkan walaupun membutuhkan biaya operasional yang besar,” kata Heri Sutanta.
Berdasarkan pengamatan Heri Sutanta, dibandingkan dengan kota-kota besar di Indonesia, Semarang dan Jakarta mengalami proses penurunan tanah yang begitu cepat. Untuk mengantisipasi terjadinya dampak yang lebih besar di kemudian hari, ia mengusulkan agar pemerintah membuat kebijakan yang komprehensif.
“Pertama adalah mengatur pengambilan air tanah dan membatasi penggunaan lahan di daerah tangkapan airnya. Selanjutnya adalah menanggulangi dampaknya, misalnya pembangunan tanggul pantai untuk melindungi infrastruktur dan warga,” usulnya. (*)
BACA JUGA : Pusat Gempa di Darat Sebabkan Guncangan Lebih Dahsyat, Ini Penjelasan Pakar UGM
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].