Aktivis Perempuan Madura: Korban Kekerasan Seksual Harus Didampingi
Red: Fernan Rahadi
Kekerasan Seksual (ilustrasi) | Foto: STRAITS TIMES
REPUBLIKA.CO.ID, PAMEKASAN -- Aktivis Perempuan di Pulau Madura, Jawa Timur Novi Kamelia meminta polisi melakukan pendampingan terhadap ibu Bhayangkari yang menjadi korban kekerasan seksual suaminya, anggota Shabara Polres Pamekasan yang kasusnya kini diproses di Polda Jatim.
"Jika tidak, ini akan membuat korban trauma," kata Novi di Pamekasan, Jawa Timur, Sabtu (7/1/2023), menanggapi kasus kekerasan seksual yang menimpa korban berinisial MH (41) yang dilakukan oleh oknum suaminya, AD.
Dalam pandangan Novi, kasus kekerasan seksual yang menimpa korban itu merupakan bentuk kejahatan tragis, apalagi korban sempat dijual kepada masyarakat umum dan rekan-rekannya sesama oknum anggota polisi di Kabupaten Pamekasan, Bangkalan dan oknum anggota TNI di Surabaya.
"Pasti korban mengalami trauma yang sangat berat, apalagi dipaksa juga mengonsumsi narkoba," katanya.
Novi yang juga yang merupakan dosen tamu di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Bangkalan ini menilai, persoalan kasus kekerasan seksual di keluarga oknum anggota polisi itu pada kekuasaan dan dominasi. Hal ini, karena kejadiannya sudah berlangsung lama, akan tetapi korban baru berani melaporkan kejadian tersebut ke institusi polri, yakni Polda Jatim.
Novi mendasarkan pendapatnya dengan memgutip teori relasi kuasa Michael Foucault dan Pieree Bourdiue. Menurut Foucault, kata Novi, semakin seseorang memiliki kekuasaan, maka ia akan mudah melakukan dominasi terhadap yang lain.
Dalam kasus ini, si pelapor adalah seorang perempuan yang di dalam sistem budaya patriarki dianggap lebih rendah dari laki-laki, sehingga laki-laki merasa tidak melakukan kesalahan saat melakukan intimidasi (apalagi pemerkosaan) terhadap perempuan, karena dianggap wajar
"Dari perspektif jabatan, apalagi polisi dimana jabatan tersebut memiliki kuasa terhadap orang lain, sehingga saat mereka memakai narkoba, tidak merasa takut karena tahu bagaimana prosedur hukumnya," kata Doktor Jurusan Ilmu Sosial Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini.
Dia mengatakan orang pintar akan lebih berani, termasuk melanggar aturan atau melakukan kesalahan. Keberanian korban melaporkan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh suaminya sendiri yang merupakan anggota Polres Pamekasan ini, sambung dia, memang membutuhkan tekad yang kuat, meski konsekwensi yang akan dihadapi korban sangat sulit.
"Tapi karena dia sebagai ibu Bhayangkari yang juga punya kuasa, maka salut untuk beliau. Sebab kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan, itu sangat berat karena dianggap aib. Apalagi di sistem budaya patriarki Madura pasti perempuan yang disalahkan padahal dia korban," kata Penulis Buku "Jungkir Balik Kekuasaan Lalake?" ini.