Selasa 10 Jan 2023 01:15 WIB

KontraS Desak Pemerintah Ratifikasi Konvensi 51 Terkait Pengungsi

Indonesia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951.

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Esthi Maharani
Pengungsi etnis Rohingya berbaris sebelum mendapatkan sarapan pagi di tempat pengungsian sementara yang disediakan oleh Pemerintah Daerah di Ladong, Aceh Besar, Senin (9/1/2023).
Foto: EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Pengungsi etnis Rohingya berbaris sebelum mendapatkan sarapan pagi di tempat pengungsian sementara yang disediakan oleh Pemerintah Daerah di Ladong, Aceh Besar, Senin (9/1/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi 51 terkait penanganan pengungsi. Hal ini menyusul kembali munculnya gelombang pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh.

"KontraS Aceh mengingatkan kembali pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi konvensi 51 terkait penanganan pengungsi. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2016 teruji tidak cukup komprehensif," ujar Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna kepada Republika, Senin (9/1/2023).

Perpres 125 berisi bahwa, penanggung jawab penanganan pengungsi berada pada Badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migration (IOM). Namun, UNHCR mengatakan, bahwa Perpres 125 tahun 2016 memberikan kerangka hukum yang mengatur perlakuan terhadap pengungsi di atas kapal yang mengalami kesulitan di dekat Indonesia dan membantu mereka turun di negara tersebut.

Indonesia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951. Oleh karenanya, KontraS sebagai organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) yang berfokus pada advokasi, juga mendesak pemerintah untuk lebih menunjukkan perhatian khusus kepada para pengungsi Rohingya. Sebab, pengungsi luar negeri merupakan persoalan serius yang harus ditangani tidak hanya dari lembaga masyarakat dan organisasi bantuan semata.

KontraS juga meminta pemerintah melakukan tindakan cepat dan koordinatif dengan pemerintah Aceh mengenai pembentukan satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri (PPLN). Hal ini guna memahami bahwa penanganan pengungsi Rohingya ini tidak terkesan dibiarkan menjadi masalah pemerintah Aceh saja.

"Kami mendesak pemerintah segera membentuk satgas PPLN. Ini adalah masalah kemanusiaan, sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM perlu sinergitas dalam penyelesaiannya," kata Husna.

Pada Ahad (8/1/2023), 184 pengungsi Rohingya kembali tiba di pantai Aceh. Menurut data KontraS Aceh, yang mencermati dari dekat pengungsi luar negeri termasuk Rohingya, sudah enam kali pengungsi Rohingya tiba di Aceh sejak November 2022.

Menyoal kondisi terbaru dari para pengungsi yang baru tiba kemarin, Husna mengatakan, mereka dalam kondisi stabil. Hari ini pun mereka akan menjalankan tes antigen untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi Covid-19 atau tidak.

"Mereka saat ini ditempatkan di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Sosial di Ladong, Aceh Besar dan akan menjalani tes antigen Covid-19," kata dia.

UNHCR mengatakan, bahwa 2022 bisa menjadi salah satu tahun paling mematikan bagi Rohingya yang mencoba melarikan diri mengarungi lautan. Etnis Rohingya telah lama dianiaya di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha.

Selama bertahun-tahun banyak orang Rohingya melarikan diri ke negara-negara tetangga seperti Thailand dan Bangladesh. Mereka juga melarikan diri ke Malaysia dan Indonesia yang mayoritas Muslim.

Hampir 1 juta penduduk etnis Rohingya hidup dalam kondisi padat di kamp-kamp pengungsi Bangladesh, termasuk banyak dari ratusan ribu orang yang melarikan diri dari penumpasan mematikan pada tahun 2017 oleh militer Myanmar.

Kelompok-kelompok hak asasi telah mencatat peningkatan yang signifikan dalam jumlah yang meninggalkan kamp. Tidak jelas apa yang mendorong eksodus yang lebih besar, tetapi beberapa aktivis yakin pencabutan pembatasan Covid di sekitar Asia Tenggara bisa menjadi faktor penyebabnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement