REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Pemerintah baru Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak menyia-nyiakan waktu untuk mengimplementasikan agenda ultranasionalisnya. Gerak cepat ini pun telah ditekankan Netanyahu kepada anggota partainya Likud di Parlemen.
"Kami tidak menunggu, dan saya pikir warga Israel sudah merasakan ini," kata Netanyahu pada Senin (9/1/2023).
“Kami membentuk pemerintahan yang berbeda, dengan kebijakan yang berbeda, dan kami menjalankan berbagai hal secara berbeda," ujarnya.
Setelah hampir dua minggu berkuasa, pemerintah paling garis keras dan religius dalam sejarah Israel ini telah mengobarkan perpecahan di dalam negeri. Agenda yang didorong mengarah ke konflik dengan Palestina dan sekutu Israel di luar negeri.
Hanya beberapa hari setelah menjabat, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir mengunjungi tempat paling sensitif di Yerusalem area Masjid AL-Aqsa. Kemudian menahan sekitar 40 juta dolar AS dari pendapatan pajak dan sebagai gantinya menggunakan uang itu untuk memberi kompensasi kepada korban Israel atas serangan milisi. Ada juga rencana untuk menghentikan pembangunan di desa-desa Palestina di bagian Tepi Barat yang dikuasai Israel.
Langkah lain lebih simbolis seperti mencabut hak istimewa pejabat tinggi Palestina dan melarang pengibaran bendera Palestina di dalam wilayah Israel. Otoritas Israel selama akhir pekan bahkan membubarkan pertemuan orang tua Palestina yang membahas kondisi sekolah anak-anak di Yerusalem timur.
Israel mengklaim pertemuan itu didanai oleh Otoritas Palestina (PA) tetapi tidak memberikan bukti pendukung. Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh menyatakan Israel mencoba untuk menggulingkan otoritas dan mendorongnya ke jurang, secara finansial dan kelembagaan.
Langkah cepat ini diambil usai Palestina berhasil melobi Majelis Umum PBB untuk meminta pendapat hukum dari Mahkamah Internasional tentang kebijakan Israel di wilayah pendudukan Tepi dan Yerusalem timur. Atas keputusan ini, pemerintah Israel akhirnya menanggapi dengan serangkaian tindakan hukuman terbaru itu.
Kebijakan Netanyahu tidak mengejutkan. Setelah empat pemilihan yang tidak meyakinkan hanya dalam tiga tahun. Netanyahu mampu meraih kemenangan dalam putaran kelima pemungutan suara dengan bergabung dengan kumpulan mitra sayap kanan dan ultra-Ortodoks.
“Kami mendapat mandat yang jelas dari masyarakat, untuk melaksanakan apa yang kami janjikan dalam pemilu. Itulah yang akan kami lakukan,” kata Netanyahu.
Koalisi didominasi oleh garis keras yang membenci Palestina, menentang gagasan pembicaraan damai, dan menolak pembentukan negara Palestina. Contoh saja Ben-Gvir yang merupakan pengikut mendiang rabi radikal yang menganjurkan pengusiran massal warga Palestina dari negara itu.