Pengasuh Ponpes di Jember Diduga Lakukan Kekerasan Seksual Dilaporkan
Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
Kiai diduga cabuli santriwati. Kasus dugaan pencabulan terhadap santriwati yang dilakukan seorang kiai di Jember terkuat berkat laporan istri pelaku. | Foto: Foto : MgRol_92
REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Pengasuh di salah satu pondok pesantren (ponpes) wilayah Kabupaten Jember diduga telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual kepada pelapor dan sejumlah santri. Pelapor sendiri tercatat sebagai istri dari pengasuh ponpes itu selama 10 tahun terakhir.
Koordinator LBH Jentera Perempuan Indonesia, Yamini mengatakan, lembaganya sebenarnya baru mendapatkan surat kuasa dari pelapor pada Senin (9/1/2023). Lembaganya mendapatkan informasi dan rujukan kasus tersebut dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarganya Berencana (DP3AKB) Jember.
Juga bekerja sama untuk membantu memecahkan kasus ini dengan melibatkan pihak universitas, Fatayat NU, dan jurnalis. Terkait kasus ini, Yamini memastikan, pihaknya masih perlu memperdalamnya.
"Kami terus memberikan support pendampingan hukum untuk pelapor dan melakukan pendekatan kepada korban lainnya," jelas Yamini kepada Republika, Selasa (10/1/2023).
Berdasarkan penilaian sementara, kasus tersebut terdapat indikasi kekerasan terutama Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan seksual. Istri sekaligus pelapor termasuk salah satu korban yang mengalami kekerasan tersebut.
Menurut Yamini, pelapor telah mengalami kekerasan tersebut sejak 10 tahun terakhir. Selain istri, kasus ini diduga dialami lima orang lainnya yang tercatat sebagai santriwati di ponpes tersebut.
Sejauh ini, kata dia, kasus yang dialami para santriwati untuk sementara disimpulkan sebagai kekerasan seksual. Adapun apakah bentuk kekerasannya pencabulan atau pemerkosaan, masih akan diperdalam.
Yamini mengungkapkan, saat ini pelapor mengalami dampak psikis akibat kejadian tersebut. Hal ini terutama rasa takut setelah pelapor mendapatkan ancaman dari terlapor.
Meskipun demikian, Yamini memastikan, terlapor mendapatkan pendampingan cukup baik dari keluarga, lembaganya maupun masyarakat lain.
Sementara itu, untuk kondisi psikis santriwati masih harus dilakukan pendalamannya. Pihaknya perlu melakukan pendekatan karena ada indikasi brain washing sehingga harus waspada.
"Jadi bersama kepolisian melakukan pendekatan. Kami akan melakukan pendekatan ke santri karena mereka juga korban kan," ujarnya.
Selanjutnya, pihaknya tetap berkoordinasi dengan kepolisian untuk mengungkapkan kasus ini sampai putusan pengadilan. Kemudian lembaganya juga harus memastikan hak korban terutama pelapor.
Pasalnya, pelapor juga termasuk salah satu korban dari pengasuh ponpes tersebut. Menurut Yamini, pelapor sebenarnya sudah tabayyun sehingga sangat paham dengan karakter suaminya.
"Jadi kenapa ini beliau berani sampai melapor? Karena beliau merasa eman (sayang) santriwatinya, eman pondoknya, eman terhadap masyarakat. Dia tidak mau perbuatan zhalim tersebut terus menerus dilakukan," kata dia menambahkan.