Selasa 10 Jan 2023 16:15 WIB

Palestina Luncurkan Kampanye untuk Balas Kebijakan Ekstrem Israel

Palestina terus kampanye menolak pendudukan Israel

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Kementerian Luar Negeri Palestina telah menginstruksikan semua kedutaan Palestina di seluruh dunia meluncurkan kampanye internasional yang komprehensif untuk mengekspos kebijakan pemerintah Israel terhadap Palestina.
Foto: AP Photo/Nasser Nasser
Kementerian Luar Negeri Palestina telah menginstruksikan semua kedutaan Palestina di seluruh dunia meluncurkan kampanye internasional yang komprehensif untuk mengekspos kebijakan pemerintah Israel terhadap Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Kementerian Luar Negeri Palestina telah menginstruksikan semua kedutaan Palestina di seluruh dunia meluncurkan kampanye internasional yang komprehensif untuk mengekspos kebijakan pemerintah Israel terhadap Palestina. Duta Besar Ahmed Al-Deek, pada Senin (9/1/2023) mengatakan kepada Arab News, Otoritas Palestina mengharapkan lebih banyak tindakan hukuman kepada pemerintahan ekstremis Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Al-Deek menekankan bahwa sanksi Israel, yang dibuat sebagai tanggapan atas permohonan Palestina untuk bantuan PBB, tidak akan menyurutkan semangat menteri luar negeri Palestina untuk terus mengkonsolidasikan kampanye internasional yang menolak pendudukan Israel. Dia memperingatkan bahwa sanksi terbaru dapat menyebabkan runtuhnya Otoritas Palestina, atau gelombang kemarahan yang meluas di kalangan warga Palestina.

Baca Juga

Al-Deek menambahkan, tindakan Israel akan memperdalam krisis keuangan pemerintah Palestina. Termasuk mempengaruhi kemampuan Otoritas Palestina untuk memenuhi kewajiban keuangannya terhadap warga Palestina dalam pembayaran gaji dan layanan kesehatan dan pendidikan di Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem Timur.

Al-Deek mengatakan, Israel bertujuan untuk melemahkan semua institusi negara Palestina ketimbang mengakui hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri dan negara merdeka. "Kami menolak tindakan ini, yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap perjanjian yang ditandatangani antara kami dan Israel,” kata Al-Deek kepada Arab News.

Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengatakan, tindakan Israel bertujuan untuk menggulingkan otoritas dan mendorongnya ke jurang finansial dan institusional. Sementara pakar politik dan ekonomi Palestina mengatakan, tindakan opresif Israel dapat menyebabkan runtuhnya Otoritas Palestina. Mereka mengatakan, tindakan Israel telah membuat Otoritas Palestina tidak dapat melaksanakan tugasnya, seperti membayar gaji terhadap 170.000 pegawai negeri.

Pemerintahan sayap kanan Israel memulai tindakan hukuman dalam waktu singkat, untuk mendapatkan kepercayaan parlemen. Israel membatalkan izin khusus para pemimpin senior Otoritas Palestina dan faksi Fatah, sehingga membatasi pergerakan dan perjalanan mereka.

Israel juga menyita dana milik Otoritas Palestina sehingga melemahkan kemampuannya untuk memberikan layanan kepada lebih dari 5 juta warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza.

Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, yang merupakan tokoh sayap kanan, telah mengancam sekitar 4.700 tahanan Palestina dengan pembatasan lebih lanjut atas kondisi penahanan mereka di penjara Israel.

Sejak didirikan pada tahun 1994, Otoritas Palestina mengandalkan dua sumber utama pendanaan yaitu bantuan internasional, dan pajak yang dikumpulkan Israel atas nama Otoritas Palestina. Pendanaan dari bantuan internasional belum lama ini turun menjadi 20 persen dari nilai dukungan yang diterimanya tujuh tahun lalu.

Pada Jumat (6/1/2023), Kabinet Israel memutuskan akan menahan aliran dana sebesar 39 juta kepada Otoritas Palestina. Israel juga akan mengurangi pendapatan yang biasanya ditransfer ke Otoritas Palestina.

Sejak November 2021, Otoritas Palestina tidak dapat membayar lebih dari 80 persen gaji pegawai negeri, atau melaksanakan proyek pembangunan infrastruktur apa pun di wilayah Palestina. Ekonom Palestina Samir Hulileh mengatakan, sanksi ekonomi Israel datang setelah fase ekonomi sulit yang dilalui Otoritas Palestina.

Otoritas Palestina sudah terpukul oleh defisit fiskal dalam anggarannya. Termasuk penurunan dukungan internasional karena proses perdamaian yang menemui jalan buntu, dan munculnya pemerintahan sayap kanan Israel yang tidak tertarik dengan solusi damai.

 “Setiap pemotongan tambahan dari dana Otoritas Palestina akan berdampak negatif terhadap kemampuannya untuk memenuhi kewajiban terhadap rakyatnya,” kata Hulileh

Hulileh menambahkan, mengurangi kemampuan keuangan Otoritas Palestina akan mempengaruhi layanan keamanan dan kemampuan mereka untuk menjaga keamanan di wilayah pendudukan. Total dukungan eksternal yang diterima Otoritas Palestina adalah 400 juta dolar AS per tahun, atau mewakili 20 persen dari dukungan yang diterimanya tujuh tahun lalu. Otoritas Palestina adalah pemberi kerja kedua di wilayah Palestina, dengan 23 persen dari total tenaga kerja, setelah sektor swasta.

 “Masalahnya saat ini terletak pada akumulasi utang Otoritas Palestina  kepada pemasok dan bank lokal selama tiga tahun terakhir, yang mengancam kelangsungan hidupnya,” kata Hulileh.

Warga Palestina telah meminta Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas untuk menghentikan kerja sama keamanan dengan Israel sebagai tanggapan atas tindakan hukuman Israel baru-baru ini.  Namun, Abbas tidak berencana mengambil keputusan tersebut dalam waktu dekat. Warga Palestina berharap kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Antony Blinken ke Israel sebelum akhir bulan ini, dapat menekan Israel untuk berhenti mengambil tindakan hukuman lebih lanjut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement