REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Situasi resesi ekonomi global yang dapat menyebabkan krisis kemanusiaan membutuhkan sokongan bantuan pendanaan khusus untuk urusan kemanusiaan. Tak terkecuali, Indonesia yang juga terkena dampak dari situasi resesi.
Direktur Eksekutif Humanitarian Forum Indonesia (HFI) Surya Rahman mengatakan, krisis kemanusiaan sejak 2022 lalu kian meningkat. Dimulai dari perang dan konflik Rusia-Ukraina hingga bencana akibat perubahan iklim.
Akibatnya, berdasarkan catatan PBB, setidaknya sepanjang 2022 ada 247 juta jiwa yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Memasuki 2023, diproyeksi meningkat menjadi 339 juta jiwa yang membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Secara global, dana yang dibutuhkan untuk bantuan itu sekitar 51 miliar dolar AS. "Angka ini sangat luar biasa dan bagaimana bisa merespons itu? Tentu kalau hanya mengandalkan pembiayaan negara, lama-lama bisa bangkrut juga," kata Surya.
Oleh karena itu, ia mengatakan, dibutuhkan sejumlah inisiatif kemanusiaan untuk menghimpun pendanaan dalam merespons krisis yang akan terjadi di tahun ini.
"Tapi, bukan hanya soal bagaimana bisa mengumpulkan dana, tapi penyaluran bisa tersampaikan secara baik dan transparan," ujarnya.
Ia mencatat, Indonesia sejauh ini cukup dikenal menjadi negara yang dermawan karena kerap kali terlibat aktif dalam bantuan internasional. Namun di sisi lain, Indonesia juga membutuhkan bantuan karena cukup sering mengalami bencana alam.
Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara, Kementerian Keuangan, Oza Olavia menyampaikan, kebijakan fiskal tahun ini harus lebih efektif dalam memberikan bantuan kepada masyarakat. Belanja yang dilakukan pemerintah harus berkualitas seperti untuk bantuan sosial hingga subsidi tepat sasaran.
"Mengingat, tahun 2023 diwaspadai ada ketidakpastian global. Siaga adaptif dan responsif harus dicapai dan mengoptimalisasi APBN sebagai shock absorber," ujarnya.