REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan global akan melambat tajam menjadi 1,7 persen pada 2023. Bank Dunia merevisi 1,3 poin persentase lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.
Ini akan jadi laju ekspansi terlemah ketiga dalam hampir tiga dekade. Dasar proyeksi adalah pengetatan kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi dan perang Rusia di Ukraina meredam prospek.
"Amerika Serikat, kawasan euro, dan China semuanya mengalami 'periode kelemahan yang nyata'," kata lembaga yang berbasis di Washington tersebut.
Guncangan negatif lebih lanjut, termasuk inflasi yang lebih tinggi, kenaikan suku bunga yang tiba-tiba untuk menahannya, dan kebangkitan kembali pandemi COVID-19. Ini bisa mendorong ekonomi global ke dalam resesi.
"Pertumbuhan global telah melambat sejauh ekonomi global hampir jatuh ke dalam resesi, ini hanya tiga tahun setelah keluar dari resesi yang disebabkan pandemi pada 2020," kata laporan setengah tahunan Prospek Ekonomi Global bank.
Pertumbuhan global diperkirakan akan pulih menjadi 2,7 persen pada 2024, turun 0,3 poin dari proyeksi Juni.
Penurunan tajam dalam pertumbuhan kemungkinan akan meluas. Proyeksi pertumbuhan diturunkan untuk hampir semua negara maju dan sekitar dua pertiga dari emerging market dan ekonomi berkembang pada 2023, juga sekitar setengah dari semua negara pada 2024.
Pertumbuhan di Amerika Serikat diperkirakan melambat menjadi 0,5 persen tahun ini, 1,9 poin di bawah proyeksi sebelumnya. Ini karena ekonomi terbesar di dunia itu mengalami pengetatan kebijakan moneter paling cepat dalam lebih dari 40 tahun, untuk meredam kenaikan harga makanan dan energi.
Inflasinya diperkirakan akan moderat tahun ini karena pasar tenaga kerja melemah dan tekanan upah menurun. Ekonomi AS kemungkinan akan tumbuh 1,6 persen tahun depan, direvisi turun sebesar 0,4 poin.
Di China, aktivitas ekonomi memburuk pada 2022, dengan konsumsi terbatas oleh pembatasan di bawah kebijakan "nol-COVID" dan kekeringan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pertumbuhan diperkirakan akan meningkat menjadi 4,3 persen tahun ini karena pencabutan pembatasan pandemi melepaskan pengeluaran yang terpendam, turun 0,9 poin dari perkiraan Juni.
"Untuk Jepang, pertumbuhan diantisipasi melambat menjadi 1,0 persen tahun ini, penurunan 0,3 poin dari Juni, setelah pertumbuhan 1,2 persen pada 2022," kata Bank Dunia, mencatat bahwa laju lamban akan terlihat bersamaan dengan perlambatan ekonomi maju lainnya.
Jepang menghadapi tantangan karena harga energi yang tinggi mengikis daya beli rumah tangga dan mengurangi konsumsi, tambahnya. Produk domestik bruto riil Jepang diperkirakan akan tumbuh 0,7 persen pada 2024, 0,1 poin lebih tinggi dari yang diperkirakan pada Juni.
Kawasan euro diproyeksikan mengalami pertumbuhan nol persen tahun ini, direvisi turun 1,9 poin. Ini karena gangguan pasokan energi yang sedang berlangsung terkait dengan invasi Rusia ke Ukraina dan prospek pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut. Kawasan ini akan tumbuh 1,6 persen tahun depan, Bank Dunia memperkirakan.
Volume perdagangan global diperkirakan tumbuh 1,6 persen tahun ini, setelah melonjak 10,6 persen pada 2021 dan meningkat 4,0 persen pada 2022.
Ke depan, Bank Dunia memperingatkan bahwa bank-bank sentral mungkin perlu menaikkan suku bunga lebih dari yang diproyeksikan saat ini. Meski tetap tergantung pada inflasi dan mempertinggi risiko salah langkah kebijakan.
Dalam skenario resesi, di mana kondisi keuangan yang lebih ketat diasumsikan mengakibatkan kesulitan pembiayaan yang meluas di negara emerging markets dan berkembang. Bank Dunia mengatakan produk domestik bruto global hanya akan tumbuh sebesar 0,6 persen pada 2023.
"Ini akan diterjemahkan ke dalam kontraksi 0,3 persen per kapita," kata laporan itu.