REPUBLIKA.CO.ID, Majelis hakim meragukan pengakuan terdakwa Putri Candrawathi terkait peristiwa pemerkosaan yang dituduhkan kepada Brigadir Nofriansah Yoshua Hutabarat (J). Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso mengatakan, cerita tentang kekerasan seksual di rumah Magelang, Jawa Tengah (Jateng) versi Putri, dan terdakwa Ferdy Sambo yang menjadi pemicu pembunuhan di Duren Tiga 46 itu, bertolak belakang dengan reputasi profesi, maupun standar kesehatan tinggi pasangan suami isteri tersebut saban harinya.
Kata hakim Wahyu, jika benar Brigadir J menggagahi, semestinya Putri melakukan tes visum. Mengingat Putri, menurut hakim Wahyu, punya latar belakang pendidikan yang mapan sebagai dokter gigi.
Pun isteri Sambo itu, kata Wahyu, selama di persidangan mengaku menerapkan standar kesehatan tinggi terhadap diri sendiri, juga semua anggota keluarga. Putri, dikatakan Wahyu, kerap menerapkan protokol kesehatan ketat di keluarga.
Karena itu, Wahyu mencecar Putri tentang mengapa tak melakukan visum, jika peristiwa pemerkosaan tersebut benar-benar terjadi. Kata dia, ketika terjadi pemerkosaan, banyak kejadian itu, adalah yang paling ditakutkan pertama penyakit menular seksual (PMS).
"Saudara (Putri) kan seorang dokter, di keluarga saudara juga protokol kesehatannya sangat tinggi. Bahkan kalau ada yang datang ke rumah, harus tes PCR segalam macam. Tetapi itu berkebalikan dengan peristiwa di Magelang itu (pemerkosaan). Kenapa saudara tidak pergi ke dokter, paling tidak untuk memeriksakan diri?,” begitu tanya hakim Wahyu kepada Putri saat persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Rabu (11/1). Dalam persidangan tersebut, Putri diperiksa sebagai terdakwa.
Atas pertanyaan dan pernyataan hakim Wahyu itu, Putri sempat terdiam untuk merespons. Tetapi, dengan suara pelan dan terdengar menangis, Putri menjelaskan, dirinya yang tak dapat melakukan apapun setelah mengalami perbuatan asusila dari Brigadir J itu. Termasuk, kata dia, upaya untuk melakukan visum, pun tak ada dalam pikirkannya.
“Yang mulia, setelah kejadian itu (pemerkosaan), saya itu hanya bisa diam, dan tidak bisa berkata apa-apa. Karena saya bingung,” jawab Putri.
Kata dia melanjutkan, pikirannya pada saat itu hanya menghendaki agar peristiwa pemerkosaan tersebut, tak terungkap ke orang banyak karena alasan aib dan malu. “Saya malu dengan apa yang terjadi pada saya. Dan saya tidak tahu harus bagaimana yang sebenarnya,” sambung Putri.
Hakim Wahyu, pun mempertegas pertanyaannya tentang visum yang seharusnya dilakukan oleh Putri jika benar dirinya mengalami pemerkosaan. “Dan memang saudara (Putri) tidak melakukan visum. Betul?,” tanya hakim Wahyu.
Putri pun menegaskan jawabannya, bahwa dirinya memang tak pernah melakukan pemeriksaan medis pascaperistiwa pemerkosaan itu. “Saya tidak pernah visum,” kata Putri.
“Bahkan pada sesudah peristiwa penembakan (pembunuhan Brigadir J) itu, saudara pernah visum, atau pergi ke dokter untuk pemeriksaan?,” tanya hakim Wahyu kembali.
Putri, pun tetap pada jawabannya yang tak pernah sekalipun melakukan visum untuk membuktikan adanya pemerkosaan tersebut. “Untuk visum saya nggak,” jawab Putri.