REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) menargetkan kredit tumbuh 10 persen sampai 11 persen pada 2023. Target ini meningkat dari realisasi pada 2022, yang tumbuh 8,5 persen secara tahunan (year on year/yoy).
"Walaupun situasi di tahun 2023 sulit, tapi kami yakin kredit BTN bisa tumbuh 10 persen sampai 11 persen," ucap Wakil Direktur Utama BTN Nixon Napitupulu dalam konferensi pers Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) BTN yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Keyakinan tersebut, menurut dia, seiring dengan beberapa strategi yang sedang dipersiapkan antara lain asset sales atau penjualan aset, tingginya realisasi pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR), hingga semakin turunnya restrukturisasi kredit COVID-19.
Saat ini, perseroan tengah menunggu perizinan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mendapatkan opini hukum dan keuangan terkait rencana transaksi penjualan dua aset BTN untuk menekan rasio kredit macet (non performing loan/NPL). Dengan pengurangan NPL, BTN berkomitmen kepada otoritas untuk tidak menggunakan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) untuk kepentingan laba, melainkan akan dipakai untuk memperkuat cadangan.
Jika transaksi penjualan aset tersebut bisa dijalankan, Nixon memperkirakan rasio cakupan alias coverage CKPN terhadap NPL bisa meningkat mencapai 160 persen pada tahun ini, dari level 150 persen pada akhir 2022.
Sementara, dari realisasi pertumbuhan KPR BTN yang terus membaik, tercatat penopang utamanya adalah KPR subsidi yang tumbuh mendekati dua digit. Dengan demikian, kredit jenis tersebut bisa menopang pertumbuhan kredit perseroan secara keseluruhan, ditambah kredit komersial dan kredit UMKM.
"Memang kalau kami lihat menarik bahwa memang pertumbuhan KPR di segmen bawah masih lebih tinggi dibandingkan kelas yang menengah ke atas, dari sisi pertumbuhannya," tuturnya.
Dari sisi restrukturisasi kredit yang juga menambah keyakinan target pertumbuhan kredit tahun ini, kata dia, nilai KPR yang keluar dari program restrukturisasi COVID-19 terlihat semakin besar, yakni pada Desember 2022 sudah mencapai Rp 1,7 triliun hanya dalam satu bulan dan ke depannya diyakini akan terus meningkat.