Kamis 12 Jan 2023 09:12 WIB

Pemerintah Bayangan Myanmar Desak Internasional Hentikan Kekejaman Junta

Masyarakat internasional harus mengambil tindakan yang lebih konkret terhadap junta

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Esthi Maharani
 Para pengunjuk rasa memegang plakat dengan gambar kepala junta militer Jenderal Min Aung Hlaing (kiri), Presiden China Xi Jingping (2-R) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) selama protes menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, 13 Februari 2021. Orang-orang terus berdemonstrasi di seluruh negeri meskipun ada perintah yang melarang pertemuan massal dan laporan peningkatan penggunaan kekuatan oleh polisi terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta. Militer Myanmar merebut kekuasaan dan mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun setelah menangkap Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan presiden Myanmar Win Myint dalam serangan dini hari pada 01 Februari.
Foto: EPA-EFE / LYNN BO BO
Para pengunjuk rasa memegang plakat dengan gambar kepala junta militer Jenderal Min Aung Hlaing (kiri), Presiden China Xi Jingping (2-R) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) selama protes menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, 13 Februari 2021. Orang-orang terus berdemonstrasi di seluruh negeri meskipun ada perintah yang melarang pertemuan massal dan laporan peningkatan penggunaan kekuatan oleh polisi terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta. Militer Myanmar merebut kekuasaan dan mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun setelah menangkap Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan presiden Myanmar Win Myint dalam serangan dini hari pada 01 Februari.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON - Pemerintah bayangan Myanmar, National Unity Government (NUG) mendesak masyarakat internasional mengambil tindakan untuk menghentikan kekejaman junta Myanmar. Hal ini menyusul pemenjaraan terhadap 112 etnis minoritas Rohingya, termasuk anak di bawah umur.

"Masyarakat internasional harus mengambil tindakan yang lebih konkret untuk menghentikan kekejaman, terutama negara-negara Asean seperti Indonesia dan Malaysia yang sangat terpengaruh oleh upaya kepergian Rohingya," kata Penasihat Hak Asasi Manusia NUG, Aung Kyaw Moe seperti dikutip laman The Guardian, Rabu (11/1/2023).

Baca Juga

Ia menilai perlakuan terhadap minoritas Rohingya di Myanmar semakin memburuk sejak pasukan militer mengkudeta pemerintahan sah Myanmar. "Ada pembatasan tambahan yang diberlakukan dengan perintah lokal dari gerakan kebebasan di kotapraja dan akses ke bantuan kemanusiaan sangat mempengaruhi kelangsungan hidup Rohingya yang tersisa di Rakhine,” katanya.

Pemenjaraan mereka yang di bawah umur, kata Kyaw Moe, jelas merupakan pelanggaran Komite Hak Anak. Sekurangnya 112 orang etnis minoritas Rohingya dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan di Myanmar. Para pengungsi Rohingya berupaya melarikan diri dari kamp pengungsi di Rakhine tanpa dokumen resmi.

Kelompok pengungsi tersebut terdiri dari 12 anak. Mereka awalnya ditangkap bulan lalu di pesisir wilayah Ayeyarwady saat menunggu dua perahu motor yang akan memfasilitasi awal perjalanan mereka ke Malaysia.

Hukuman untuk kelompok tersebut berkisar dari dua hingga lima tahun penjara, tergantung pada apakah mereka meninggalkan kamp di Bangladesh atau Rakhine. Sedangkan anak-anak dikatakan bakal dikirim ke "sekolah pelatihan".

Laporan media lokal menunjukkan bahwa sejak Desember 2021, sekitar 1.800 etnis minoritas Rohingya, termasuk anak-anak, telah ditangkap saat mereka berusaha melarikan diri dari kamp.

"Tuduhan terhadap mereka karena bepergian tanpa dokumen berasal dari penolakan junta sendiri untuk mengakui Rohingya sebagai warga negara,” kata Daniel Sullivan dari Refugees International.

Kelompok minoritas Muslim tidak diakui secara hukum di bawah undang-undang kewarganegaraan Myanmar 1982. Hukum tersebut membatasi akses mereka ke layanan dasar dan kebebasan bergerak.

"Pemenjaraan Rohingya terbaru oleh junta Myanmar adalah pengingat bagi dunia bahwa arsitek genosida Rohingya tetap berkuasa di Myanmar," kata Sullivan.

Pada 2017, hampir 75 ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Mereka menghindari penganiayaan brutal militer. Sekitar 600 ribu Rohingya tetap berada di negara bagian Rakhine Myanmar. Sebanyak kurang lebih 142 ribu Rohingya dikurung di kamp-kamp tertutup.

Di Bangladesh, tingkat kekerasan, serangan seksual, dan pelecehan di dalam kamp memaksa orang melarikan diri. Penculikan, pembunuhan, perdagangan dan narkoba dilaporkan sebagai hal yang biasa.

Selama sebulan terakhir, tiga kapal yang membawa lebih dari 150 orang Rohingya telah mencapai pantai Indonesia, namun keberadaan kapal lain yang membawa lebih dari 180 orang masih belum diketahui. Meski mengetahui bahaya perjalanan melalui laut dan potensi pemenjaraan, banyak yang memilih untuk tetap melakukan perjalanan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement