REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jika Anda pergi ke sejumlah kawasan di jazirah Arab, maka akan menemukan beberapa daerah yang mengharamkan patung orang dan binatang. Kalaupun ada patung, biasanya berupa benda-benda mati seperti pesawat, dan sejenisnya.
Gambar berupa visual seseorang mungkin masih bisa dikompromikan. Sedangkan lukisan bergambar orang secara utuh bisa ditemukan secara terbatas.
Mengapa demikian?
Bangsa Arab punya pengalaman panjang terkait dengan gambar dan patung, khususnya patung. Ribuan tahun lalu, Nabi Ibrahim menghancurkan patung-patung berhala saat berdakwah di sekitaran Ur atau sekitar negara Irak saat ini.
Meski dibakar, Allah menyayangi Nabi Ibrahim, sehingga selamat. Maka dakwah tauhidnya terus berlanjut. Bahkan setelah wafat, dakwah Nabi Ibrahim dilanjutkan Ismail di Hijaz dan Ishaq di sekitaran Palestina dan sekitarnya.
Dakwah Ismail membebaskan bangsa Arab dari patung berhala, seperti yang dilakukan bapaknya.
Kemudian setelah itu, tradisi orang Arab menghormati orang baik terus hidup. Suatu ketika ada orang bernama Latta di Thaif. Dia adalah pembuat roti yang sangat dermawan. Pada musim haji, dia biasanya memasak roti berlebih.
Rombongan jamaah haji biasanya datang ke Pasar Okkaz terlebih dahulu untuk berpidato dan menunjukkan kehebatan seni dan sastra. Setelah itu, mereka memakai ihram di dekat sana. Lalu Latta akan membekali mereka dengan roti. Kebaikan Latta terus berlanjut hingga dia wafat.
Setelah itu, orang-orang Arab ziarah ke kuburannya untuk mendoakan dan mengenang kebaikannya. Saking cintanya kepada Latta, mereka membuatkan patung Latta untuk menghormati si dermawan.
Namun lambat laun, bukan sekadar memberikan penghormatan. Mereka menyembah patung tersebut. Akhirnya orang-orang kembali menyembah patung berhala. Bahkan patung berhala berjejer di sekitar Ka’bah hingga Nabi Muhammad SAW lahir dan ketika dewasa mengembalikan orang Arab kepada tauhid.
Rasulullah mengkhawatirkan tradisi patung. Beliau mewanti-wanti jangan sampai ada Muslim yang menjadi pembuat patung, karena merkea dikhawatirkan menghidupkan tradisi menyembah berhala.
إِنَّ مِنْ أَشَدِّأَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَذَابًا الْمُصَوِّرُونَ
Sesungguhnya, di antara penghuni neraka yang paling berat siksaannya di hari kiamat adalah para pelukis (gambar yang bernyawa). (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits itu menjadi penguat dan dasar bahwa al mushawwir alias pembuat patung akan diazab pedih oleh Allah. Seperti apa azabnya? Ini dijelaskan oleh hadits dari Ibnu Abbas
مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فَإِنَّ اللّٰه مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَأ أَبَدًا
Siapa saja yang membuat gambar (manusia dan hewan), niscaya ia akan disiksa hingga ia mampu meniupkan nyawa pada lukisan yang dibuatnya, padahal selamanya ia tidak mampu memberi lukisan tersebut nyawa.
Namun. Sikap Rasulullah berbeda ketika menyaksikan Aisyah, istrinya tercinta bermain patung. Rasulullah tidak marah.
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Aisyah, Ummul Mukminin;
قَدِمَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكٍ أَوْ خَيْبَرَ، وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْررٌ، فَهَبَّتْ رِيحٌ، فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِششَةَ لُعَبٍ، فَقَال: مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ؟ قَالَتْ: بَنَاتِي. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهَا جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ، فَقَال: مَا هَذَا الَّذِي أَرَى وَسَطَهُنَّ؟ ققَالَتْ: فَرَسٌ. قَال: وَمَا هَذَا الَّذِي عَلَيْهِ؟ قَالَتْ: جَنَاحَانِ. فَقَال: فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ؟ قَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ؟ قَالَتْ: فَضَحِكَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.
Rasulullah SAW datang dari perang Tabuk atau Khaibar. Kamar Aisyah terdapat kain penutupnya. Lalu, bertiup angin yang membuka ujung kain, menampakkan boneka milik Aisyah. Nabi Muhammad SAW berkata, “Apa ini wahai Aisyah?” Aisyah berkata, “Ini adalah anak-anakku.” Nabi SAW melihat di antara boneka-boneka itu seorang kuda yang punya dua sayap yang terbuat dari lembaran kain. Nabi SAW bertanya, “Ini apa yang ada di tengah-tengah boneka?” Aisyah menjawab, “Kuda.” Nabi SAW bertanya, “Lalu yang di atas kuda ini apa?” Aisyah menjawab, “Dua sayap.” Nabi SAW bertanya, “Kuda punya dua sayap?” Aisyah menjawab, “Apakah anda belum pernah mendengar bahwa Sulaiman punya kuda yang punya beberapa sayap?” Aisyah berkata, “Rasulullah SAW tertawa sampai saya melihat gigi-giri gerahamnya.” (HR. Abu Dawud)
Guru Besar Sosiologi Agama dari Institut Agama Islam Ibrahimi Situbondo Prof Muhammad Baharun menjelaskan, hadits tentang Aisyah itu menjadi penanda bahwa hadits itu berlaku sesuai konteksnya. Konteks yang pertama, ketika al-mushawwir itu dilarang, karena Rasulullah mengkhawatirkan orang-orang Arab yang baru masuk Islam kala itu kembali menyembah berhala. “Karena itulah Rasulullah tegas melarang dan menekankan adzab bagi para al – mushawwir atau pembuat patung,” kata Baharun di Kantor Republika Jakarta pada Rabu (11/1/2023).
Namun setelah menyaksikan Aisyah bermain dengan patung kuda, Rasulullah tidak melarang itu. Sebab Rasulullah sudah meyakini keimanan umat Islam kala itu sudah kuat. Al-mushawwir baik itu yang menghasilkan lukisan, gambar, maupun patung, tidak lagi mengajak orang untuk menyembah karyanya.
Karena itu gambar berupa foto dan lukisan, juga patung, saat ini tidak menjadi masalah. Dengan catatan, jangan sampai karya seni itu diagung-agungkan secara berlebihan.