REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis nihil dan kewajiban membayar uang pengganti Rp 5,733 triliun kepada Direktur Utama PT Hanson International Tbk, Benny Tjokrosaputro dalam perkara korupsi pengelolaan dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) serta pencucian uang.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Benny Tjokrosaputro terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan korupsi sebagaimana dakwaan kesatu primer dan pencucian uang sebagaimana dakwaan kedua primer. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana nihil," kata ketua majelis hakim Ignatius Eko Purwanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/1/2023).
Vonis tersebut berbeda dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung yang menuntut agar Benny Tjokrosaputro divonis hukuman mati dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 5,733 triliun, karena melakukan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 22,788 triliun dan pencucian uang.
Majelis hakim juga menjatuhkan pidana uang pengganti senilai Rp 5,733 triliun, dengan memperhitungkan barang bukti yang disita dari Benny Tjokrosaputro berupa 1.069 tanah dan bangunan yang dirampas untuk negara dan diperhitungkan sebagai uang pengganti serta barang bukti yang disita dari Riski Heru Cakra dan diperhitungkan sebagai uang pengganti.
"Sesudah putusan berkekuatan hukum tetap dan seluruhnya dilelang untuk menutupi uang pengganti, dengan ketentuan bila hasil lelang melebihi uang pengganti, maka sisanya dikembalikan kepada terpidana. Namun,bila hasil lelang tidak mencukupi dan terpidana tidak membayar kekurangan paling lama satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan dilelang untuk menutupi uang pengganti," ucap Ignatius.
Putusan itu berdasarkan dakwaan kesatu primer Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan kedua primer Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Meski berdasar pertimbangan majelis hakim, terdakwa dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana kesatu dan kedua primer; tapi undang-undang secara imperatif menentukan jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup di samping tidak boleh dijatuhi pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim sebagaimana pasal 67 KUHP, maka menurut majelis hakim ketentuan tersebut mutlak harus dipedomani," jelas Ignatius.
Majelis hakim pun menyampaikan empat alasan tidak sependapat dengan JPU tentang penjatuhan hukuman mati terhadap Benny Tjokro. "Pertama, penuntut umum telah melanggar azas penuntutan karena menuntut di luar pasal yang didakwakan. Kedua, penuntut umum tidak membuktikan kondisi-kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan terdakwa pada saat melakukan tindak pidana korupsi," kata majelis hakim.
Alasan ketiga, berdasarkan fakta, majelis hakim, menilai terdakwa melakukan tipikor saat situasi negara aman. "Keempat, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara pengulangan. Oleh karena itu, beralasan hukum untuk mengesampingkan tuntutan mati yang diajukan penuntut umum dalam tuntutannya," kata Ignatius.