REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Muslim di Jerman punya kerentanan terhadap diskriminasi berdasarkan nama dan penampilan mereka. Hal ini berdasarkan temuan survei tentang rasisme yang dilaporkan oleh Komisaris Integrasi Jerman Reem Alabali-Radovan.
Laporan pemerintah menyebutkan, perempuan berjilbab berjuang mendapatkan pekerjaan, dan anak-anak dengan nama Turki dicoret di sekolah. Alabali-Radovan, yang menyampaikan laporan tersebut kepada Kanselir Olaf Scholz dari kabinet, Rabu (11/1/2023), mengatakan itu merupakan contoh rasisme struktural.
Dia menyoroti satu studi yang menemukan jilbab dan nama Turki membuat mereka 4,5 kali lebih sulit mendapatkan wawancara kerja. Keadaan itu terjadi di tengah pertikaian buruk tentang kekerasan pada Malam Tahun Baru yang memicu perdebatan baru tentang integrasi di Jerman.
Politikus sayap kanan membuat keributan dengan menuntut untuk memberitahu nama depan warga Jerman yang terlibat dalam kerusuhan. Nama tersebut menyiratkan bahwa mereka mungkin memiliki latar belakang migran.
"Kita harus menilai pelaku Tahun Baru berdasarkan tindakan mereka dan bukan pada nama depan mereka. Rasisme bukanlah bahaya yang abstrak, tetapi pengalaman yang menyakitkan bagi banyak orang di negara kita," kata Alabali-Radovan, seperti dilansir The National News, Kamis (12/1/2023).
Alabali-Radovan sendiri adalah seorang putri dari orang tua asal Irak. Dia mengaku sering mendengar cerita dari komunitas migran dan agama tentang diskriminasi terhadap Muslim.
Sekitar 5,5 juta Muslim tinggal di Jerman, termasuk banyak orang asal Turki yang keluarganya bermigrasi setelah Perang Dunia Kedua dan warga Suriah yang tiba selama krisis pengungsi selama 2015. Meski ada beberapa kisah sukses yang terkenal, laporan rasisme setebal 104 halaman itu mengatakan umat Islam mengalami beberapa sikap paling negatif dari kelompok minoritas mana pun.