REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi dan energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi mengatakan, pemberian subsidi kepada konsumen kendaraan listrik dapat menumbuhkan keinginan untuk migrasi dari bahan bakar minyak ke energi listrik yang lebih bersih.
"Ini sesungguhnya mengalihkan subsidi dari bahan bakar minyak yang jumlahnya besar sekali ke mobil listrik, sehingga (insentif) itu tidak akan membebani karena hanya memindahkan dari kantong kiri ke kantong kanan," ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Kamis (12/1/2023).
Pemerintah berencana memberikan subsidi kendaraan listrik dengan nilai insentif Rp 80 juta untuk mobil listrik, Rp 8 juta untuk motor listrik baru, dan Rp 5 juta untuk motor konversi yang bertujuan membangun ekosistem kendaraan listrik serta menurunkan emisi.
Pada 2022, realisasi subsidi dan kompensasi untuk bahan bakar minyak mencapai angka Rp 307,2 triliun. Angka itu membengkak dari rencana awal APBN yang hanya sebesar Rp 252 triliun.
Nilai subsidi yang sangat besar itu dipicu kenaikan harga minyak mentah dunia yang berimbas terhadap harga produk bahan bakar minyak. Fahmy memandang, Indonesia sanggup menjadi negara penghasil kendaraan listrik yang cukup besar dengan produk yang tidak hanya dipasarkan di dalam negeri, tetapi juga untuk ekspor.
Menurutnya, upaya untuk mencapai hal itu dibutuhkan insentif fiskal hingga subsidi untuk kendaraan listrik.
"Kalau benar kemudian memberikan subsidi, ini harus ada syaratnya yang harus diberikan sebab kalau tidak, kita hanya membuka pasar bagi perusahaan-perusahaan asing untuk memasarkan produknya seperti mobil konvensional," kata Fahmy.
Syarat minimal terkait pemberian subsidi dan insentif tersebut, pertama, mobil dan motor harus diproduksi di dalam negeri. Kedua, pabrik merupakan joint venture dengan investor dalam negeri.
Jadi, perusahaan asing asal China, Korea Selatan, maupun Amerika Serikat harus bekerja sama dengan perusahaan Indonesia. Ketiga, penggunaan komponen lokal atau TKDN minimal 75 persen agar mengoptimalkan pemanfaatan produk-produk di dalam negeri.
Keempat, ada kesepakatan antara investor asing dan investor dalam negeri adanya proses alih teknologi terutama alih teknologi bidang sumber daya manusia.
"Kapabilitas teknologi itu mutlak dalam lima tahun harus dialihkan ke orang-orang Indonesia, sehingga lima atau 10 tahun ke depan Indonesia akan menjadi penghasil kendaraan listrik yang cukup besar yang diproduksi sendiri oleh putera-puteri Indonesia, di pasarkan di dalam negeri, dan ekspor," kata Fahmy.
Sementara itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pemberian insentif kendaraan listrik lebih baik difokuskan pada pembelian kendaraan listrik roda dua, konversi kendaraan roda dua menjadi kendaraan listrik roda dua, dan elektrifikasi transportasi publik.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan apabila hal itu direalisasikan tidak saja mengurangi konsumsi bahan bakar minyak, tetapi juga mengurangi kemacetan dan penurunan emisi di Indonesia.
IESR menyarankan pemerintah Indonesia agar berkaca dari pengalaman India yang memberikan insentif kendaraan listrik melalui skema The Faster Adoption and Manufacturing of Electric Vehicles (FAME). Di dalam skema tersebut, insentif bus lebih besar dibandingkan mobil pribadi.