REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Cita-cita Hillary Clinton duduk di kursi presiden hancur oleh bocornya email pribadi yang memuat informasi rahasia. Donald Trump berisiko mendapatkan dakwaan pidana karena menolak menyerahkan catatan rahasia pemerintah usai turun jabatan. Kini Presiden AS Joe Biden bisa mengalami masalah politik mengenai dokumen rahasia yang salah tempat.
Tiga situasi tersebut memang jauh berbeda. Namun bila disatukan, ketiganya menunjukkan bagaimana pengelolaan dokumen telah menjadi sumber kontroversi di tingkat tertinggi politik Amerika. Beberapa menilai, masalah-masalah itu peringatan pada kecerobohan dan keangkuhan dalam menangani rahasia pemerintah.
Bagi yang lain menjadi pengingat pemerintah federal telah membangun sistem yang sulit dan mungkin tidak dapat dikelola dalam menyimpan dan melindungi informasi rahasia.
"Kesalahan terjadi, jadi sangat mudah untuk mengambil tumpukan dokumen di meja Anda saat Anda keluar kantor, dan Anda tidak sadar salah satunya dokumen rahasia. Anda hanya tidak pernah mendengarnya, apa pun alasannya," katanya Mark Zaid, pengacara yang bekerja di isu keamanan nasional, Kamis (12/1/2023).
Kini Amerika sudah sering mendengarnya. Acara bincang politik diisi tentang dokumen apa yang disimpan di kotak yang mana di lemari yang mana. Pemilih dikuliahi jargon-jargon intelijen seperti TS/SCI, HUMINT dan asesmen kerusakan.
Masalah email menjadi narasi utama kampanye Hillary Clinton. Penyelidikan pidana juga membayangi harapan Trump untuk kembali ke Gedung Putih.
Partai Republik yang kini menguasai House menggelar penyelidikannya sendiri pada praktik pengelolaan data rahasia pemerintah Biden. Terutama setelah ada dokumen rahasia kedua yang ditemukan.
"Masyarakat Amerika sangat mengerti, sebagian masalah yang melibatkan dokumen rahasia karena kami telah membicarakannya hampir selama delapan tahun," kata konsultan politik dari Partai Republik Alex Conant.
Saat itu komite House dari Partai Republik yang sedang menyelidiki penyerangan kantor konsulat AS di Benghazi, Libya menemukan Clinton menggunakan email pribadi saat menjabat menteri luar negeri. Penyelidikan federal tidak menghasilkan dakwaan tapi 110 dari 30 ribu email diserahkan ke pemerintah karena ditetapkan sebagai informasi rahasia.
Trump yang menyerang Clinton soal email itu memenangkan pemilihan umum tapi ia juga menunjukkan kecerobohan dalam mengelola data rahasia. Ia diingat membahas intelijen sensitif dengan duta besar Rusia untuk AS, menimbulkan kekhawatiran ia mungkin membahayakan sumber yang membantu membatalkan rencana teroris.
Setelah turun jabatan Trump diduga membawa dokumen rahasia ke rumah pribadinya di Mar-a-Lago di Flordia. Sebagian ia telah menyerahkannya ke Arsip Nasional AS tapi ia menolak menyerahkan sebagian lainnya.
Departemen Kehakiman khawatir, rahasia keamanan nasional dalam bahaya. Departemen mengeluarkan surat penggeledahan dan menemukan banyak dokumen yang sangat rahasia.
Pemerintah AS menunjukkan utusan khusus yang akan menentukan dakwaan dalam kasus itu atau penyelidikan terpisah mengenai upaya Trump mempertahankan kekuasaan pada 6 Januari 2020. Ketika pendukungnya menyerbu masuk Gedung Kongres.