REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dalam sejarah Islam dapat dikethaui bahwa sejak zaman Rasulullah SAW telah telah lahir konstitusi tertulis pertama yang dikenal dengan konstitusi Madinah atau Piagam Madinah.
Nabi Muhammad SAW saat itu meneken Piagam Madinah pada 622 untuk mengikat beragam komunitas di Madinah, termasuk Yahudi, agar hidup berdampingan di Madinah.
Namun, ketika Suku Nadir dan Qainuqa mengkhianati perjanjian itu, mereka pun diusir dari Madinah. Dalam konteks ini, rakyatlah yang melanggar konstitusi atau kesepakatan bersama. Lalu, bagaimana jika penguasanya yang melanggar konsitusi?
Dalam konteks Indonesia, jika pemerintah melanggar ketentuan konstitusi atau melanggar ketentuan UUD, maka perwakilan rakyat wajib memberhentikan pemerintah (presiden). Karena untuk tujuan itu lah DPR dan MPR dibentuk. Meskipun presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Lalu bagaimana jika dilihat dari perspektif hukum Islam?
Dalam Islam, penguasa yang melanggar konstitusi dapat dikatakan sebagai penguasa zalim. Biasanya penguasa zalim banyak melakukan penyimpangan dan pelanggaran, fasik, korup, otoriter, dan tidak adil.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
السلطان ظل الله في الأرض يأوي إليه كل مظلوم من عباده
“Pemimpin adalah payung Allah di muka bumi, tempat berlindung bagi tiap orang yang terzalimi dari hamba-Nya.” (HR Hakim dan Al-Bazzar)
Akan tetapi, tidak selamanya para pemegang amanat berbuat adil, bahkan melanggar konstitusi.
Bagaimana Islam menyikapi penguasa zalim atau yang melanggar konstitusi? Di antara pokok manhaj dan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu sabar terhadap kezaliman pemimpin.
Baca juga: Islam akan Jadi Agama Mayoritas di 13 Negara Eropa pada 2085, Ini Daftarnya
Hal ini merujuk hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, di antaranya hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِه شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ
Artinya: “Siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang ia tidak suka, hendaklah ia bersabar”. (HR Bukhari dan Muslim).
Sampai kapan harus bersabar? Yang jelas bersabar itu tidak ada batasnya, kesabaran kita sampai bertemu dengan Rasulullaah SAW di telaga haudh. Rasulullah bersabda :
فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ
Artinya : “Sabarlah, sampai berjumpa denganku di telaga haudh“.
Sedangkan orang yang tidak sabar dan kemudian melakukan pemberontakan, maka akan memunculkan fitnah yang dahsyat. Dia pun terancam tidak akan bisa meminum dari telaga Nabi Muhammad SAW.