Jumat 13 Jan 2023 01:37 WIB

Agar Anak tak Jadi Korban Kejahatan, Ini Saran Psikolog

Orang tua memiliki peran-peran vital dalam menjaga keselamatan anaknya.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Qommarria Rostanti
Cara agar anak tidak menjadi korban kejahatan menurut psikolog. (ilustrasi)
Foto: republika/mgrol100
Cara agar anak tidak menjadi korban kejahatan menurut psikolog. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus pembunuhan yang dilakukan dua remaja di Makassar, Sulawesi Selatan, sungguh mengejutkan. Apalagi ketika mereka mengakui bahwa motif pembunuhan ini karena tergiur uang dari hasil penjualan organ tubuh korbannya. Jenis kejahatan yang bervariasi membuat para orang tua khawatir anaknya akan menjadi korban kejahatan.

Lantas, bagaimana agar anak tidak menjadi korban kejahatan? Psikolog klinis forensik, A Kasandra Putranto, mengatakan, orang tua memiliki peran-peran vital dalam menjaga keselamatan anaknya.

Baca Juga

Pertama, orang tua harus mengawasi anak terutama di tempat umum. Usahakan anak tidak sendirian dan selalu bersama teman, atau orang lain yang dipercaya (orang tua, pengasuh). "Ajarkan anak untuk waspada pada orang yang tidak dikenal," ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (12/1/2023).

Kasandra mengatakan, orang tua juga sebaiknya mengajarkan teknik pencegahan saat anak dipaksa mengikuti orang yang tidak dikenal (berteriak, lari, dan lain-lain). Jangan lupa untuk menjelaskan pentingnya untuk waspada.

Bisa juga ajarkan anak bela diri. "Lebih baik lagi jika orang tua dan sekolah bisa bekerja sama dalam melindungi anak," ujarnya seraya menambahkan pastikan selalu ada jalur komunikasi antara orang tua dan anak.

Kasandra menyebut ada suatu hal yang kerap terlupakan adalah menjaga hubungan dengan orang lain. Orang tua yang mempunyai musuh berpotensi akan mencelakakan anaknya.

Apa sebenarnya yang mendorong remaja tega melakukan perbuatan keji menculik dan membunuh bahkan berniat menjual organ tubuh korbannya? Menurut dia, untuk bisa menjawab secara khusus dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui dinamika psikologis anak tersebut.

"Namun, ada beberapa faktor risiko yang dapat memprediksi perilaku kriminal pada remaja, seperti agresi, regulasi emosi yang buruk, isolasi sosial, hubungan yang renggang dengan orang tua, dan hubungan pertemanan yang menyimpang," ujarnya.

Menurut Kasandra, berbagai konten dan situs materi memberikan pengaruh semakin tinggi kepada anak dan remaja. Utamanya ketika konten dapat diakses berulang kali pada satuan waktu yang tidak terbatas. Salah satunya adalah situs Yandex yang memberikan informasi mengenai penjualan organ tubuh dengan harga mahal.

Dia mengatakan, berbagai paparan di internet, terutama paparan dengan nuansa negatif, banyak diasosiasikan dengan berbagai masalah perilaku dan penurunan fungsi. "Antara lain masalah hubungan sosial, masalah tidur, penurunan kualitas kesehatan fisik dan mental, dan penurunan well-being pada individu," ujarnya.

Selain itu, fenomena flexing didasari pada motif ekonomi, pada kesempatan yang sama juga merupakan salah satu motif yang mendasari seseorang dalam melakukan aksi kriminal. Kasandra mengatakan, dalam mengatasi anak yang melakukan perilaku kriminal, butuh pembinaan yang tak menjauhkan anak dari lingkungan luar. Secara bersamaan, anak memerlukan dukungan sosial serta pembinaan dari profesional misalnya psikolog anak dan lainnya.

"Diskriminasi yang didapat anak oleh perilakunya dapat mengakibatkan anak semakin rentan untuk mengalami kecemasan, perasaan tertekan, ketakutan, dan gangguan psikologis lainnya," ujarnya.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement