Jumat 13 Jan 2023 11:09 WIB

Presiden dan Parpol Pengusung tidak Boleh Putus Hubungan?

Kebijakan presiden seharusnya mencerminkan karakter partai politik pengusung.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Mansyur Faqih
Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu)
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Relasi antara partai politik pengusung dengan presiden disebut sebagai suatu hal yang sesuai dengan konteks ketatanegaraan Indonesia. Karena itu, relasi antara presiden dan partai politik pengusung dinilai tidak boleh terputus.

"Pascareformasi, UUD 1945 memberikan ruang andil yang besar bagi partai politik dalam penyelenggaraan negara," ujar pakar hukum tata negara dari Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan, dalam keterangannya, Jumat (13/1/2023).

Dia menjelaskan, ruang andil yang besar bagi partai politik tersebut dapat dilihat dari pasal 6A ayat (2) dan pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Aturan itu mengatur soal peran partai politik mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan presiden.

"Maupun saat presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya," jelas Jimmy.

Argumentasi Jimmy yang berikutnya berdasar kepada UU Nomor 2 Tahun 2008 dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Lewat aturan itu, keberadaan partai politik dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita.

"Hal ini berimplikasi bahwa setiap partai politik memiliki asas dan ciri masing-masing yang sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana diatur dalam pasal 9 UU Partai Politik," kata dia.

Lalu, Jimmy mengatakan, ketika seorang warga negara direkrut menjadi calon presiden dan wakil presiden oleh partai pengusung, maka secara sadar warga negara itu mengikatkan dirinya dalam komitmen perjuangan. Di mana itu dilakukan demi kepentingan bangsa dan negara.

"Melalui garis, asas, ciri, dan cita-cita yang telah dibangun dalam suatu partai politik. Atas dasar itu, relasi antara presiden dan partai politik pengusung tidak boleh terputus," jelas Jimmy.

Tak jauh berbeda dengan Jimmy, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan, Oce Madril, mengatakan, dalam konteks pemerintahan, kebijakan presiden seharusnya mencerminkan karakter partai politik pengusung.

Menurut dia, praktik di beberapa negara menunjukkan agenda kebijakan presiden mencerminkan karakteristik platform politik partai pengusung. Dia mengambil contoh di Amerika Serikat, yang mana dapat diprediksi kebijakan presidennya tidak akan jauh berbeda dari mazhab Partai Republik atau Demokrat.

“Di Indonesia semestinya juga begitu. Konstitusi menegaskan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum," terang Oce.

"Sehingga, presiden dan wakil presiden merupakan bagian dari partai politik dan tentunya platform perjuangan partai politik pengusung merupakan acuan agenda kebijakan presiden. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan,” sambung Oce.

Oce menambahkan, relasi yang kuat antara partai politik pengusung dan presiden dibutuhkan agar pemerintahan stabil dan berjalan efektif. Dengan begitu pula, agenda kebijakan strategis presiden mendapatkan dukungan parlemen secara politik.

"Itulah salah satu esensi pertimbangan mengapa dibutuhkan presidential threshold dalam pencalonan presiden dan wakil presiden, supaya presiden mendapatkan back up politik yang cukup kuat dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya, sehingga kita memiliki sistem presidensial yang efektif," terang dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement