REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Menteri Luar Negeri (Menlu) Jepang Yoshimasa Hayashi pada Kamis (12/1/2023) mendesak Rusia menarik pasukannya dari Ukraina. Menlu Jepang juga mendorong negara-negara lain 'berdiri' melawan pelanggaran Piagam PBB, seperti pencaplokan wilayah.
Desakan itu disampaikan Hayashi pada debat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, mewakili Jepang yang selama Januari merupakan ketua bergilir dewan beranggotakan 15 negara tersebut. Sidang pada Kamis (12/1/2023) itu berfokus pada pentingnya supremasi hukum, yakni isu yang juga terkait dengan peningkatanambisi China di Indo-Pasifik.
Hayashi mengatakan, perintah Mahkamah Internasional pada Maret 2022 --agar Rusia menarik semua pasukannya dari Ukraina-- "harus segera dilaksanakan". Dia menambahkan bahwa prinsip aturan hukum "tidak pernah mengizinkan negara mana pun untuk mengubah perbatasan dengan paksa atau melalui penggunaan kekuasaan".
Hayashi mengatakan, hukum internasional atau Piagam PBB "sama sekali tidak" dapat digunakan untuk membenarkan tindakan pemaksaan, seperti invasi Rusia yang sedang berlangsung ke Ukraina. Menteri Luar Negeri Jepang itu juga menekankan pengerahan personel bersenjata ke wilayah di bawah pemerintahan damai suatu negara lain untuk menciptakan fait accompli (keadaan yang terpaksa diterima) tidak dapat dibenarkan.
Meskipun dia menahan diri untuk tidak menyebut negara mana pun, Hayashi membuat pernyataan tersebut dalam kritik terselubung terhadap China, menurut seorang pejabat pemerintah Jepang.
Pernyataan seperti itu diduga dikeluarkan Hayashi karena kapal militer China telah berulang kali memasuki perairan di sekitar Kepulauan Senkaku di Laut China Timur. Pulau tak berpenghuni yang dikendalikan Tokyo itu diklaim oleh Beijing, yang menyebutnya sebagai Pulau Diaoyu.
Pada sesi debat Dewan Keamanan tersebut, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa dunia menghadapi kondisi 'aturan tanpa hukum' kecuali krisis-krisis global ditangani, termasuk program senjata nuklir Korea Utara dan perang di Ukraina.
PBB dipandang kalangan luas tidak berfungsi dalam menangani perang Moskow di Ukraina, yang sebagian besar disebabkan oleh hak veto Rusia dan China. Rusia dan China, bersama Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis merupakan lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Sebagai anggota tetap, kelima negara itu memiliki hak veto (menolak).
Presiden Mahkamah Internasional Joan Donoghue mengikuti sidang Dewan Keamanan itu secara virtual. China telah lama memperdebatkan putusan pengadilan Konvensi PBB tentang Hukum Laut terhadap validitas sembilan garis putus-putus (nine dash lines) pada peta dunia, yakni untuk sebuah wilayah maritim yang diklaim oleh China di Laut China Selatan.
Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun pada sesi Kamis itu mengatakan bahwa alih-alih menggunakan mekanisme pihak ketiga, negara-negara harus mencoba menyelesaikan perbedaan mereka melalui negosiasi.
Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia menuduh Jepang dan negara-negara Barat mengadakan pertemuan itu tanpa niat untuk berpikir secara sistematis dan tidak memihak tentang supremasi hukum.
"Mantan mitra kami dari negara-negara Barat hanya ingin menjual narasi tentang tanggung jawab nyata Rusia karena menyebabkan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional ... namun mereka mengabaikan pelanggaran mengerikan yang mereka sendiri lakukan," kata Nebenzia.
Sementara itu, Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa tidak ada dasar hukum internasional untuk invasi Rusia ke Ukraina.
Hayashi juga mengatakan kursi anggota tetap dan tidak tetap Dewan Keamanan harus diperluas sehingga negara-negara, terutama dari Afrika, dimasukkan untuk 'lebih mencerminkan realitas dunia saat ini.'
Meskipun Jepang telah lama berupaya mendapatkan posisi permanen di dewan tersebut, Hayashi tidak membahas ambisi Jepang secara langsung, melainkan mengidentifikasi perluasan keanggotaan Dewan Keamanan sebagai bagian 'paling mendesak' dari proses reformasi PBB.
Jepang termasuk di antara lima negara yang memulai periode dua tahun sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan pada Januari tahun ini. Anggota baru lainnya adalah Ekuador, Malta, Mozambik, dan Swiss.