Pengamat : Dampak Hoaks Berpotensi Rugikan Demokrasi Indonesia
Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Yusuf Assidiq
Berita Hoaks (Ilustrasi) | Foto: VOA
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Hoaks berpotensi menjadi ancaman nyata pada Pemilu 2024 mendatang. Pakar komunikasi politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad, menjelaskan hoaks yang mudah tersebar dengan cepat bisa merugikan proses demokrasi di Indonesia.
"Hoaks ini seperti api, Pemilu 2019 lalu drama hoaks luar biasa sampai muncul distrust ke penyelenggara pemilu yang itu sangat berbahaya," kata Nyarwi dalam diskusi bertajuk 'Menyongsong Tahun Politik 2024' di UGM, Yogyakarta, Kamis (12/1/2023).
Para elite politik juga memiliki peran penting untuk tidak dengan mudahnya menyebarkan informasi yang kebenarannya tidak valid. Selain itu elite juga penting untuk tidak menyebarkan kabar hoaks yang bertujuan merusak karakter kandidat lain dalam proses kampanye.
Jika itu dilakukan maka kecil peluang hoaks bisa muncul di masyarakat. "Kita harap penyelenggara pemilu menjadi ujung tombak untuk mengawasi meminimalisir impact dari munculnya hoaks politik yang digerakan oleh elit," ujarnya.
Lebih lanjut Nyarwi mengatakan berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah hoaks. Salah satunya dengan melakukan literasi digital. Bahkan di kalangan media juga sudah diterapkan fact checking.
"Tapi sekali lagi itu sebagai upaya balik lagi ke para elit juga yang sejauh mana punya kesabaran dimana ketika bermain hoaks ini kan seperti api. Kalau kita bermain dengan api di rumah kita, maka itu bisa terbakar. Ketika hoaks politik ini tidak bisa dikelola, dalam konteks kompetisi pemilu yang hangat itu juga bisa membakar proses demokrasi, dan itu bisa merusak kredibilitas negara, bisa juga merugikan para aktor yang berkontestasi juga," tegas dia.
Tidak hanya itu, Nyarwi menilai hoaks juga merugikan masyarakat. Sebab menurutnya masyarakat disuguhkan informasi palsu dan tidak mencerdaskan.
"Kalau hoaks ini, itu yang rugi menurut saya bukan hanya elite dan aktor politik saja, masyarakat juga lebih rugi lagi, kenapa karena dampak informasi palsu, tidak mencedaskan, dan itu tidak baik bagi demokrasi kita, padahal kita inginnya ketika demokrasi kita dapat elite yg bagus, kredibel, kompeten," ujarnya.