REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pidato Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dalam HUT 50 Partai mendapat banyak tanggapan. Salah satunya, soal tudingan pidato tersebut merendahkan Presiden Jokowi.
Pakar Politik Haryadi, Staf Pengajar Departemen Politik - FISIP Unair, mengatakan pasca perayaan HUT PDIP ke-50, banyak potongan video dan potongan kalimat pidato Megawati beredar di media sosial. Potongan video dan potongan kalimat itu cenderung mengarah pada upaya membenturkan Megawati dan PDI Perjuangan dengan Presiden Jokowi.
“Seakan PDI Perjuangan pamer kuasa di hadapan Presiden Jokowi. Bahkan beberapa pengamat di media partisan itu menyatakan, bahwa Presiden Jokowi merupakan subordinat PDI Perjuangan,” kata Haryadi, Jumat (13/1/2023).
Haryadi menyatakan, ada pihak yang mengambil kemanfaatan pidato Megawati untuk falsifikasi makna politik. Berbagai potongan video dan kalimat di media sosial atau media massa mencerminkan, bahwa betapa manipulasi politik dipandang sebagai sarana pengaruh ideologis, spiritual dan psikologis pada kesadaran massa untuk memaksakan ide dan nilai tertentu; pengaruh yang disengaja pada opini publik dan perilaku politik untuk mengarahkan mereka dengan cara tertentu.
Apa contoh falsifikasi makna yang terjadi? Haryadi mengatakan bahwa cara yang dilakukan Megawati merupakan pesan kekeluargaan yang akrab, seperti layaknya Ibu kepada anak-anaknya, dalam prosesi perayaan HUT itu, justru dibelokkan maknanya sebagai subordinasi PDIP terhadap Jokowi.
Padahal, perlu dipahami pula memang acara itu dimaksudkan sebagai perayaan di dalam keluarga besar dan masyarakat biasa. Sebab sejak awal didisain merupakan acara internal partai. Yang paling banyak diundang hadir adalah level Akar Rumput yaitu pengurus ranting partai dan Satgas Cakra Buana. Karena itu, pimpinan partai politik lain yang merupakan level elite memang tak diundang. Bahkan level menteri di kabinet Presiden Joko Widodo tak semuanya diundang.
“Laiknya dalam keluarga, bisa lebih terbuka dalam berbicara. Pesan sebagai keluarga besar adalah ciri khas Bu Mega untuk membangun internal political market dan militansi para kader. PDIP termasuk salah satu partai yang dengan political ID atau identitas politik yang paling kuat. Itu berkat kekuatan mesin politik internal yang dibangun Bu Mega selama bertahun-tahun,” urai Haryadi.
Cara berpolitik demikian sudah terbukti membuahkan hasil. Haryadi menjelaskan faktor yang membuat PDIP berhasil di Pemilu 1999. Selanjutnya, Pemilu 2004 dan 2009, PDIP gagal bahkan terlempar keluar dari kekuasaan. Berikutnya lagi, pada Pemilu 2014 dan 2019, PDIP merebut kembali kekuasaan. Kemenangan Pileg dan sekaligus Pilpres pada tahun 2014 dan 2019 itu, merupakan rekor baru dalam politik kepemiluan di Indonesia. Faktor penentu kemenangan dua kali berturutan itu adalah karena PDIP beruntung memiliki dua figur role model sekaligus, yaitu Megawati dan Jokowi.
“Kekuatan dua figur ini menjadi perekat identitas partai yang begitu kuat. Sekaligus menjadi penentu kemenangan PDI Perjuangan secara berturutan. Betapa pun potensi kekuatannya secara kelembagaan diperlemah oleh pemberlakuan sistem Pemilu proporsional terbuka,” urai Haryadi.
"Nah, sebenarnya jika kita bisa menelaah lebih dalam, sesungguhnya bukti di atas menguatkan betapa penting posisi Jokowi dalam point of view Megawati selaku Ketua Umum PDIP, tanpa melupakan kejelian Mega sebagai leader maker dan jiwanya sebagai seorang negarawan," ujarnya.
Menurut Haryadi, hal itu terbukti dalam isi pidato Megawati di HUT lalu. Dia menyebut bagian pidato yang dimaksud adalah begini. ‘Sudah jelas kita ini adalah organisasi partai politik. Organisasi itu datangnya dari organ. Badan kita ini semua juga terdiri dari organ. Ketua umum adanya dimana? Pak Jokowi sebagai presiden dimana? Di sini “kepala”, memikirkan rakyat. Kalau Pak Hasto dimana? Di sini (tunjuk dahi). Karena pikiranku kusampaikan sama Sekjen, saya minta berpikir bersama pengurus DPP saya. Kita semua ini organ. Anak ranting itu mungkin kuku. Gampangnya, untuk ingat, kalau Ibu pusing, tidak bisa berpikir, macet, kalian tidak bisa kerja. Jadi semua itu harus bonding, menyatu jadi kalau saya instruksi jangan hanya sebagai kertas tetapi dijalankan.“
“Bu Mega menempatkan Presiden Jokowi di tempat tertinggi partai dalam kesatuan gerak dalam memikirkan dan memperjuangkan nasib rakyat. Tak ada subordinasi. Dan sama seperti tubuh, kepala tak lebih penting dari tangan atau kuku sekalipun. Tak ada keindahan organ tubuh, jika hanya ada kepala tanpa tangan dan kuku. Bu Mega jelas ingin mengatakan bahwa Akar Rumput partai dan masyarakat sama pentingnya dengan dirinya maupun dengan Presiden Jokowi dalam kesatuan tubuh bernama Indonesia,” urai Haryadi.
“Maka bijak memaknai agar kepentingan yang terbungkus dalam falsifikasi pemaknaan dalam komunikasi politik tidak mendapatkan tempat dalam upaya memecah PDI Perjuangan dan Presiden Jokowi,” bebernya.
Haryadi menyarankan agar semua pihak pihak meletakkan tiap kalimat dalam konteksnya. “Jangan memenggal tanpa konteks. Kecuali pemenggalan itu sengaja dilakukan untuk motif dan kepentingan politik nakal,” pungkasnya.