Oleh : Ustadz Yendri Junaidi, Lc MA, dosen STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Sepulang menyampaikan khutbah di salah satu masjid di Padang Panjang, ada seseorang mengirim pesan WA pada saya. Nomor baru. Ia lalu memperkenalkan diri.
Ia mendapatkan nomor saya dari pengurus masjid. Dalam pesan itu ia hanya ingin mengatakan, “Khutbah tadi mantap sekali, Ustadz…Pendek dan berisi…”. Hanya itu saja. Ia pun pamit.
Tak bisa saya pungkiri, ada perasaan bahagia ketika mendapat pesan singkat seperti itu apalagi dari orang yang belum pernah kenal sebelumnya. Apresiasi itu terasa sangat murni. Ia bukan basa-basi pengantar yang biasanya berlanjut pada hal-hal ‘lain’ yang kadang kurang diharapkan, seperti, “Ustadz, bisa pinjam uang?”
Pujian ‘kecil’ itu, terus terang, memberikan energi positif pada saya untuk mempertahankan substansi khutbah dan kajian-kajian yang saya sampaikan. Saya berusaha keras bisa memberikan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi jamaah.
Pujian itu juga telah mendorong saya untuk lebih memperkuat bobot dari konten-konten kajian yang saya sampaikan sehingga masyarakat benar-benar mendapatkan pencerahan dan pendewasaan dari khutbah dan ceramah yang mereka dengarkan. Seperti kata orang Minang, “Lai tabayia lapeh jo panek mandanga khutbah.”
Pujian atau apresiasi, sesuatu yang sebagian kita terlalu ‘pelit’ memberikannya. Tapi kalau ada sedikit kesalahan, kekeliruan dan kekhilafan, kita sangat bersemangat untuk menegur, meluruskan dan mengkritik, dengan dalih : “Katakan yang benar meskipun pahit…”.
Sah-sah saja kita mengkritik, menegur dan meluruskan sebuah kesalahan kalau itu disampaikan dengan cara yang bijak dan menjaga perasaan. Tapi, dimana kita ketika ia melakukan kebaikan, menorehkan prestasi, dan berbagai keunggulan? Mengapa lidah kita begitu ringan dalam mengkritik tapi begitu berat dalam memuji?
Ada yang berkata, “Bukankah Rasulullah Saw sendiri yang melarang kita untuk memuji seseorang di depannya? Sebagaimana dalam hadits :
إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِينَ فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمِ التُّرَابَ “Kalau kamu melihat orang yang suka memuji maka taburkan tanah ke muka mereka.”
Baca juga: Al-Fatihah Giring Sang Ateis Stijn Ledegen Jadi Mualaf: Islam Agama Paling Murni
Hadits itu sahih. Terdapat dalam Shahih Muslim. Tapi mari perhatikan apa kata ulama tentang hadits ini. Imam Ibnu Hajar menulis dalam Fathul Bari:
إن المراد من يمدح الناس في وجوههم بالباطل وأما من مدح بما فيه فلا يدخل في النهي فقد مدح صلى الله عليه وسلم في الشعر والخطب والمخاطبة ولم يحث في وجه مادحه ترابا
“Yang dimaksud dalam hadits ini adalah orang yang memuji orang lain di depan mereka dengan yang batil. Adapun orang memuji orang lain dengan sesuatu yang memang dimilikinya maka itu tidak masuk dalam larangan ini, karena Nabi SAW sendiri memuji syair, orasi (yang disampaikan seseorang) dan mukhatabah (percakapan), dan beliau tidak menaburkan tanah ke wajah orang yang memuji itu.”
Kita tahu Nabi SAW pernah memuji Abu Bakar sebagai seorang yang imannya mengalahkan iman umatnya, Ali bin Abi Thalib sebagai orang yang paling mengerti hukum, Abu Ubaidah sebagai orang yang paling dapat dipercaya, Abu Hurairah sebagai orang yang paling antusias menghafal hadits, Khalid bin Walid sebagai pedang Allah yang terhunus, dan sebagainya.