Ahad 15 Jan 2023 07:00 WIB

Menilik Ketangguhan Energi Hadapi Ancaman Resesi

Negara ini memiliki beragam sumber daya mumpuni yang mendukung ketahanan energi.

Red: Fuji Pratiwi
Petugas membersihkan unit SPKLU di PT PLN (Persero)Rayon Wuawua, Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (7/11/2022) (ilustrasi). Bicara resesi tentu yang menjadi perhatian serius adalah sektor energi sebagai aspek fundamental bagi perekonomian nasional.
Foto: ANTARA FOTO/Jojon
Petugas membersihkan unit SPKLU di PT PLN (Persero)Rayon Wuawua, Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (7/11/2022) (ilustrasi). Bicara resesi tentu yang menjadi perhatian serius adalah sektor energi sebagai aspek fundamental bagi perekonomian nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, Ancaman resesi global tahun ini ibarat hantu yang menakut-nakuti banyak negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Lantaran resesi disebut-sebut bisa menyebabkan deselerasi dan penurunan di sektor ekonomi.

Presiden Joko Widodo menegaskan Indonesia harus mampu menghadapi tantangan krisis terkhusus ancaman resesi global tersebut. "Kami berharap Indonesia tidak terkena imbas resesi global," ujarnya pada awal Januari 2023.

Baca Juga

Bicara resesi tentu yang menjadi perhatian serius adalah sektor energi sebagai aspek fundamental bagi perekonomian nasional. Tanpa energi, mesin-mesin pabrik yang mempekerjakan jutaan buruh tidak akan beroperasi. Tanpa energi pula, kendaraan-kendaraan pengangkut hasil produksi juga tidak akan bergerak terdistribusi.

Meskipun banyak ekonom memproyeksikan hal-hal buruk tentang resesi global, sektor energi di Indonesia tetap tangguh dalam menghadapi ancaman tersebut. Sebab, negara ini memiliki beragam sumber daya yang mumpuni untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi sebagai roda penggerak ekonomi nasional.

Kekuatan energi fosil

Ketika gelombang pandemi menyerang hebat yang membuat Indonesia mengalami perlambatan ekonomi pada akhir 2020 hingga awal 2021, energi fosil berupa minyak, gas bumi, dan batu bara masih terbukti menopang pertumbuhan ekonomi terkhusus bagi daerah. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan setiap satu juta dolar AS nilai investasi minyak dan gas bumi bisa memberikan nilai tambah hingga 1,6 juta dolar AS, membuka lapangan kerja bagi lebih dari 100 orang, dan menambah produk domestik bruto (PDB) sekitar 700 ribu dolar AS.

Sumbangsih itu belum termasuk penerimaan negara yang diperoleh dari sektor hulu minyak dan gas bumi. Bahkan, jatah hak partisipasi sebesar 10 persen bagi daerah penghasil minyak dan gas bumi berkontribusi terhadap pajak dan retribusi daerah, menyerap tenaga kerja lokal, menumbuhkan bisnis penyedia barang dan jasa lokal, hingga tanggung jawab sosial.

Pada 2020, kontribusi hulu minyak dan gas bumi terhadap penerimaan negara mencapai Rp 122 triliun atau tercapai 144 persen dari target APBN-Perubahan 2020. Pada 2021, penerimaan negara dari hulu migas sebesar 13,67 miliar dolar AS atau setara Rp 206 triliun dan mencapai 188,8 persen dari target APBN 2020 yang mencapai 7,28 miliar dolar AS.

Sejak April 2020, pemerintah memberikan harga gas murah hanya enam dolar AS per MMBTU untuk tujuh sektor industri dan kelistrikan agar mendongkrak utilisasi dan daya saing perusahaan dalam negeri. Ketujuh industri tersebut adalah industri pupuk, industri petrokimia, industri oleokimia, industri baja, industri keramik, industri kaca, dan industri sarung tangan karet. Berkat gas murah, ketujuh industri dan kelistrikan bisa terus beroperasi di tengah mahalnya harga gas.

Sementara itu, komoditas mineral dan batu bara juga memberikan kontribusi yang positif bagi pendapatan negara setiap tahun. Pada 2021, penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara sebesar Rp 124,4 triliun. Angka itu mencakup pajak, bea keluar, dan penerimaan negara bukan pajak.

Kondisi Indonesia yang kaya sumber daya fosil berdampak terhadap sektor kelistrikan nasional yang membuat tarif listrik Indonesia termasuk yang paling murah di Asia Tenggara. Besaran tarif listrik rata-rata di Indonesia untuk pelanggan bisnis menengah pada tegangan rendah adalah Rp 1.445 per kilowatt hour (kWh). Harga itu lebih murah dibandingkan Malaysia Rp 1.735 per kWh, Vietnam Rp 1.943 per kWh, dan Singapura Rp 2.110 per kWh.

Adapun tarif golongan bisnis besar pada tegangan menengah di Indonesia juga yang termurah di Asia Tenggara dengan harga Rp 1.115 per kWh, sedangkan Malaysia mencapai Rp 1.227 per kWh. Kemudian Thailand Rp 1.370 per kWh, Filipina Rp 1.603 per kWh, Vietnam Rp 1.787 per kWh, dan Singapura Rp 2.063 per kWh.

Ketika ekonomi negara bergerak lambat bahkan cenderung negatif, maka kekuatan energi fosil yang dimiliki oleh Indonesia itulah mampu menjadi pendorong dalam menggerakkan roda ekonomi nasional hingga ke daerah.

Kekuatan energi terbarukan

Saat harga bahan bakar fosil melambung tinggi akibat konflik geopolitik Rusia-Ukraina, Indonesia turut mengalami imbas dari situasi tersebut. Sebab harga minyak mentah naik di atas 100 dolar AS per barel, harga gas di atas 10 dolar AS per MMBTU, dan harga batu bara tembus 400 dolar AS per ton.

Banyak negara terutama di wilayah Eropa, terseok-seok akibat mahalnya bahan bakar fosil tersebut. Mereka memadamkan lampu-lampu di banyak gedung sebagai respons atas krisis energi yang mereka hadapi.

Di Indonesia, krisis energi hanya memberikan dampak kecil. Kondisi terburuk dialami oleh komoditas bahan bakar minyak. Perusahaan penghasil BBM terpaksa menaikkan harga produk mereka karena kebutuhan minyak mentah masih didominasi impor.

Indonesia punya potensi energi terbarukan yang sangat besar di atas 3.000 gigawatt yang bersumber dari matahari, air, angin, hingga lava. Negara ini mampu memproduksi energi secara mandiri dengan kombinasi sumber daya fosil yang dapat mendukung ketahanan energi nasional. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat dalam kurun waktu lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit energi bersih sampai dengan Juli 2022 adalah sebesar 2.576 megawatt dengan kenaikan rata-rata sebesar lima persen per tahun.

Indonesia pun telah memiliki sejumlah strategi terkait pengembangan energi bersih untuk mendukung transisi energi. Di antaranya pembangunan pembangkit energi bersih on grid, implementasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, konversi pembangkit listrik berbahan bakar minyak ke pembangkit energi bersih, penyematan teknologi co-firing biomassa, eksplorasi panas bumi, hingga implementasi energi bersih secara off grid.

Melalui beragam kekuatan yang dimiliki oleh Indonesia, baik energi fosil dan energi terbarukan, maka ancaman resesi global tahun ini bagi sektor energi ibarat dongeng sebelum tidur yang justru mendidik Indonesia untuk terus meningkatkan ketersediaan energi, keterjangkauan energi, dan menciptakan kemandirian energi tanpa perlu bergantung kepada pihak lain.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement