REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru besar ilmu politik Universitas Airlangga (Unair) yang juga mantan ketua KPU, Profesor Ramlan Surbakti mengatakan, KPU bisa digugat ke Mahkamah Agung (MA) jika menetapkan alokasi kursi dan desain daerah pemilihan (Dapil) DPR dan DPRD provinsi sesuai keinginan Komisi II DPR. Sebab, Komisi II menginginkan alokasi kursi dan desain dapil format lama, yang sudah dinyatakan inkonstitusional.
"Kalau nanti Peraturan KPU (tentang dapil) isinya sama dengan Lampiran III dan IV (yang sudah inkonstitusional) apakah bisa digugat ke MA? Bisa saja, kenapa tidak, karena bertentangan dengan putusan MK," kata Ramlan dalam sebuah diskusi daring, dikutip Sabtu (14/1/2023).
Ramlan menegaskan, format alokasi kursi dan desain dapil dalam Lampiran III dan IV UU Pemilu tak hanya dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK), tapi juga bertentangan dengan Pasal 185 UU Pemilu yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah sendiri. Pasal 185 diketahui berisi tujuh prinsip penyusunan dapil.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Sumatra Barat, Charles Simabura mengatakan, apabila KPU membuat Peraturan KPU tentang dapil yang isinya menyalin ulang format lama, KPU sebenarnya sudah melaksanakan putusan MK secara formal. Sebab, KPU sudah menggunakan kewenangannya menata dapil sebagaimana putusan MK.
Hanya saja, lanjut dia, Peraturan KPU yang menyalin format lama itu tidak melaksanakan putusan MK secara substansial. Sebab, putusan MK menyatakan format alokasi kursi dan desain dapil dalam Lampiran UU Pemilu inkonstitusional.
Celah hukum seperti itu, kata Charles, bisa dimanfaatkan oleh caleg yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan ke MA. Gugatan ke MA ini bakal 'panjang urusannya' kalau diajukan setelah pemungutan suara atau sengketa hasil Pemilu 2024.
"Jangan-jangan nanti saat sengketa hasil pemilu, bisa saja pemohon mendalilkan 'saya dirugikan dengan penataan dapil seperti ini karena mengabaikan putusan MK, akhirnya saya tidak terpilih'. Orang kan kalau sudah kalah, aspek-aspek kelemahan konstitusional ini bakal dimanfaatkan," kata Charles dalam kesempatan sama.
Karena itu, Charles meminta KPU maupun DPR untuk memikirkan ulang sebelum menetapkan Peraturan KPU dapil menggunakan format lama. "Kita harus berpikir panjang," ujarnya mengingatkan.
Polemik penataan ulang ini berawal dari putusan MK Nomor 80-PUU/XX/2022 tanggal 22 Desember 2022 yang memberikan kewenangan kepada KPU menata alokasi kursi dan dapil DPR dan DPRD provinsi. Kewenangan itu sebelumnya berada di tangan DPR, karena lampiran dapil dalam UU Pemilu disusun oleh DPR.
Dalam putusannya, MK juga menyatakan desain dapil dalam Lampiran UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan kewenangan KPU menata dapil dilaksanakan untuk Pemilu 2024 dan seterusnya.
Merespons putusan tersebut, KPU meminta pendapat empat pakar kepemiluan, termasuk Ramlan Surbakti, untuk melakukan penataan alokasi kursi dan dapil. Bahkan KPU menargetkan penataan ulang ini rampung pada akhir Januari.
Rencana KPU itu buyar setelah mereka menghadiri rapat kerja Komisi II DPR pada Rabu (11/1/2023). Dalam rapat itu, anggota dan pimpinan Komisi II menyatakan menolak penataan ulang alokasi kursi dan dapil.
Bahkan, Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang mempertanyakan mengapa KPU sampai berencana menata ulang desain dapil dan alokasi kursi. Menurutnya, putusan MK memang memberikan kewenangan kepada KPU untuk menata dapil dan alokasi kursi, tapi tidak memerintahkan KPU melakukan penataan. Baginya, KPU hanya menambah-nambah pekerjaan saja.
Alhasil, KPU bersepakat dengan DPR untuk menggunakan format alokasi kursi dan desain dapil lama yang dinilai inkonstitusional. KPU tak mengungkapkan alasan mengapa sikapnya berubah. Komisioner KPU Idham Holik pada Kamis (12/1/2023) hanya mengatakan, pihaknya bakal mengikuti kesepakatan dalam rapat kerja tersebut.