REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Menteri Luar Negeri Suriah Faisal Mekdad mengatakan, Turki harus mengakhiri kehadiran militernya di Suriah. Hal itu merupakan syarat jika Ankara menghendaki adanya pemulihan hubungan penuh dengan Damaskus.
“Kami tidak dapat berbicara tentang melanjutkan hubungan normal dengan Turki tanpa menghapus pendudukan,” kata Mekdad dalam sebuah konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian di Damaskus, Sabtu (14/1/2023).
Pada kesempatan itu, Mekdad turut mengomentari tentang kemungkinan pertemuan Presiden Suriah Bashar al-Assad dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. “Pertemuan antara Assad dan kepemimpinan Turki bergantung pada menghilangkan alasan perselisihan tersebut,” ujarnya tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Dalam kunjungannya ke Suriah, Hossein Amirabdollahian juga sempat bertemu Bashar al-Assad. Amirabdollahian mengaku senang dengan dialog yang mulai terbangun antara Turki dan Suriah. Sementara itu, Assad, Jumat (13/1/2023) mengatakan, hasil dialog dengan Turki harus didasarkan prinsip mengakhiri pendudukan dan dukungan untuk “terorisme”.
Pemerintahan Assad melabeli semua kelompok oposisi bersenjata di negaranya sebagai teroris. Seorang sumber yang mengetahui proses negosiasi mengungkapkan, Suriah menginginkan Turki menarik pasukannya dari wilayah utara dan menghentikan dukungan bagi tiga faksi oposisi utama.
Dilansir dari laman Reuters, sumber tersebut mengatakan, Suriah sangat ingin melihat kemajuan dalam tuntutan tersebut melalui komite tindak lanjut sebelum menyetujui pertemuan antara menteri luar negeri. Pada Kamis (12/1/2023) lalu, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengungkapkan, dia dapat bertemu Faisal Mekdad pada awal Februari. Dia membantah laporan yang menyebut bahwa pertemuan dengan Mekdad bakal berlangsung pekan depan.
Pada Desember 2022 lalu, Rusia, sekutu utama Bashar al-Assad, membuka peluang menjadi tuan rumah pertemuan antara Erdogan dan Assad. Moskow menyebut, meski belum ada detail spesifik, pertemuan antara kedua pemimpin itu dapat terjadi.
Turki mengecam aksi brutal pasukan Suriah dalam menghadapi gelombang demonstrasi anti-pemerintah yang menjadi cikal bakal pecahnya konflik sipil pada 2011. Ankara pun mengutuk pemerintahan Bashar al-Assad. Pada Juli 2011, pembelot dari militer Suriah membentuk Pasukan Pembebasan Suriah atau Free Syrian Army (FSA).
Tujuan FSA menumbangkan pemerintahan Bashar al-Assad. Turki pada akhirnya terlibat dalam intervensi militer di Suriah dan menyokong FSA. Tak hanya melawan pasukan pemerintahan Assad, Turki dan FSA pun bekerja sama dalam memerangi ISIS serta kelompok milisi Kurdi. Salah satu kelompok Kurdi yang menjadi target operasi Turki diketahui didukung Amerika Serikat (AS), yakni Pasukan Demokratik Suriah (SDF).