REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Korea Utara pada Sabtu (14/1/2023) mengecam pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres terkait program nuklir Pyongyang. Dalam pernyataannya, Guterres menyebut program nuklir Korea Utara sebagai "bahaya yang jelas dan nyata".
Pada Kamis (12/1/2023) Guterres mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa, Pyongyang bertanggung jawab untuk melanjutkan pembicaraan denuklirisasi dengan Amerika Serikat (AS). Pembicaraan antara Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dan mantan presiden AS Donald Trump pada 2019 gagal mencapai kesepakatan. Sejak itu, pembicaraan tidak pernah dilanjutkan lagi.
“Program senjata nuklir yang melanggar hukum yang dilakukan oleh Republik Rakyat Demokratik Korea adalah bahaya yang jelas dan nyata, mendorong risiko dan ketegangan geopolitik ke ketinggian baru,” kata Guterres pada pertemuan Dewan Keamanan PBB, dilaporkan Al Arabiya, Sabtu (14/1/2023).
Pada Sabtu malam, Pyongyang merilis pernyataan yang menuduh Guterres memiliki standar ganda. Korea Utara juga menuding Guterres melakukan tindakan berbahaya yang menghancurkan kepercayaan komunitas dunia di PBB. Kantor berita Korea Utara, KCNA mengatakan, Pyongyang menegaskan kembali bahwa Korea Utara tidak akan pernah menyerahkan senjata nuklirnya.
Pernyataan tersebut, yang dikaitkan dengan komentar seorang pejabat senior di Kementerian Luar Negeri Korea Utara, Jo Chol-su. Jo mengatakan, Guterres mengabaikan penumpukan senjata oleh Amerika Serikat yang terus-menerus membawa segala macam serangan nuklir ke semenanjung Korea dan kawasan. Jo juga menuduh Jepang tidak memiliki kualifikasi moral dan hukum untuk menjadi bagian dari Dewan Keamanan PBB karena masa kolonialnya.
Pada September 2022 lalu, Kim menyatakan Korea Utara sebagai negara nuklir dan tidak dapat diubah. Ketegangan militer di semenanjung Korea meningkat tajam tahun lalu ketika Korea Utara melakukan uji coba senjata, termasuk menembakkan rudal balistik antarbenua (ICBM) tercanggihnya. Belum lama ini, Kim menyerukan peningkatan “eksponensial” dalam persenjataan nuklir Pyongyang dan ICBM keluaran baru untuk melawan permusuhan AS dan Korea Selatan.
Pada Desember 2022, Jepang mengumumkan strategi pertahanan. Jepang berkomitmen untuk meningkatkan pengeluaran hingga dua persen dari PDB pada 2027, dan menambahkan lebih banyak kemampuan pertahanan dalam menghadapi kebangkitan militer China dan Korea Utara yang tidak dapat diprediksi.