Ini Empat Faktor Utama Penyebab Perkawinan Anak
Rep: Dadang Kurnia/ Red: Yusuf Assidiq
Ilustrasi Pernikahan Dini | Foto: MGROL100
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar kependudukan dan kesehatan reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Lutfi Agus Salim mengungkapan, angka perkawinan anak di Indonesia tergolong masih tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 menyebutkan, bahwa 1 dari 9 perempuan berusia 20-24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun.
Jika ditotal, jumlahnya mencapai 1,2 juta jiwa. "Jika dilihat berdasarkan angka absolut kejadian perkawinan usia anaknya, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah adalah tiga provinsi yang paling tinggi," kata Lutfi, Senin (16/1/2023).
Pria yang menjabat ketua Koalisi Kependudukan Provinsi Jawa Timur itu menjelaskan, perkawinan anak terjadi bisa disebabkan oleh empat faktor utama. Di antaranya faktor pendidikan, pemahaman agama yang sempit, ekonomi, dan sosial budaya.
Untuk kenaikan angka perkawinan anak di Ponorogo, Jatim, kata Lutfi, bisa saja dipicu pendidikan yang rendah. "Remaja mencoba melakukan aktivitas seksual di masa berpacaran dengan pasangannya, sehingga mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan akhirnya terpaksa terjadi pernikahan anak," ujarnya.
Lutfi menjelaskan, perkawinan anak cenderung berdampak pada pihak perempuan. Secara umum, dampak yang timbul antara lain dampak pendidikan, ekonomi, psikologi, dan kesehatan. Terlebih jika melihat kasus yang ada di Ponorogo yang disebabkan kehamilan yang tidak diinginkan, tentu akan berdampak pada segi kesehatan.
Menikah muda, lanjut Lutfi, berisiko tidak siap melahirkan dan merawat anak, berisiko kelahiran prematur, anak yang dilahirkan stunting, dan bisa membahayakan keselamatan bayi dan ibunya sampai pada kematian. "Perkawinan anak juga mempunyai potensi terjadinya kekerasan seksual dan gangguan kesehatan reproduksi," kata Lutfi.
Lutfi menegaskan, diperlukan penegakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Batasan Usia Minimum Pernikahan, yaitu 19 tahun. Selain itu, kata dia, perlu pemberdayaan anak perempuan secara komprehensif melalui sumber daya pendidikan, ekonomi, dan kesehatan.
"Termasuk dengan memungkinkan penyediaan informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi," ujarnya.