REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- Pemerintah dikabarkan akan membatasi penjualan gas elpiji 3 kilogram (kg) di tingkat pengecer. Akibatnya, pedagang warung kecil atau kelontong yang selama ini ikut menjual gas elpiji 3 kg bakal dilarang.
Menanggapi hal itu, sejumlah pedagang dan masyarakat di Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten menganggap rencana kebijakan itu aneh. Mereka menilai hal itu justru menjauhkan masyarakat dari kemudahan memperoleh tabung melon untuk kebutuhan sehari-hari.
Koko (50 tahun), seorang pedagang eceran di Serpong, Tangsel, mengaku baru mengetahui adanya kabar pelarangan jual elpiji 3 kg bagi pengecer. Dia cukup kaget. Terlihat di warungnya yang berada di salah satu kawasan permukiman warga ada beberapa tabung gas elpiji 3 kg berwarna hijau yang dijajakannya kepada masyarakat sekitar.
"Kok lucu? Jadi, 'bandarnya' doang yang boleh jualin?" kata Koko balik bertanya mengenai informasi dilarangnya pengecer menjual gas melon, kepada Republika.co.id, Senin (16/1/2023).
Koko mengutarakan bahwa ia tidak setuju dengan rencana kebijakan tersebut. Pasalnya, pedagang eceran seperti dirinya mencari keuntungan dari berjualan LPG 3 kg sekaligus membantu masyarakat lebih menjangkau produk tersebut dengan jarak lebih dekat.
"Rata-rata ya yang beli warga sini atau orang-orang yang lewat. Ada saja yang beli, kalau lagi ramai bisa 10 tabung, pokoknya elpiji 3 kg ini keluar masuk-keluar masuk lah," tutur Koko, menggambarkan bahwa elpiji 3 kg memang termasuk produk yang laris dijual.
Berdasarkan penuturannya, Koko menjual per satu tabung LPG 3 kg sebesar Rp 22 ribu. Dari harga tersebut, dia menyebut mendapatkan keuntungan yang terbilang standar untuk ukuran pedagang eceran.
"Jualan gini kan buat nyari makan. Palingan juga ngambil keuntungan Rp 1.000 atau Rp 2.000. Ya enggak setuju lah sama maunya pemerintah. Orang kecil selalu jadi sasaran," ungkapnya.
Terpisah, Wati (48), salah satu warga Tangsel mengatakan, dirinya kerap kali membeli gas melon di warung yang berlokasi dekat tempat tinggalnya. Menurutnya, kebijakan pelarangan pengecer menjual LPG 3 kg justru menyusahkan.
"Kalau di warung enggak ada gasnya, malah jadi lebih jauh saya belinya. Nyusahin. Kalau di warung kan dekat dari rumah, cuma beberapa meter," kata Wati.
Selain jarak yang menjadi tidak seterjangkau yang diutarakan olehnya, Wati juga menganggap kabar diwajibkannya warga menggunakan kartu tanpa penduduk (KTP) saat beli LPG 3 kg di agen resmi tidak masuk akal.
"Ada-ada saja. Malah bikin ribet. Memangnya bisa tahu saya kaya atau miskin lewat KTP?" tanyanya disambut tertawa kecil.
Sebelumnya diketahui, Kementerian ESDM meminta Pertamina untuk meningkatkan pengawasan di lapangan dari tingkat agen hingga pangkalan. Menurut Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji, Menteri ESDM Arifin Tasrif telah mengirimkan surat terkait hal tersebut.
]"Kita sudah ada surat dari Menteri (ESDM) ke Pertamina untuk memperhatikan pengawasan itu sampai ke konsumen," ujar Tutuka.
Tindak lanjut yang harus dilakukan Pertamina adalah menambah sub penyalur. Ke depan, tidak ada lagi pengecer karena masyarakat langsung membeli LPG 3 kg ke sub penyalur. Agar data konsumen akurat, nantinya akan digunakan sistem informasi, tidak ada lagi pencatatan secara manual.
"Pencatatannya menggunakan sistem informasi, tidak manual. Nah kalau dari sub penyalur itu bisa tepat sasaran, kita bisa mengatakan sistem itu lebih baik karena sampai langsung ke konsumen," kata Tutuka.