Penjelasan Psikolog Soal Maraknya Kejahatan Jalanan Libatkan Pelajar
Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang juga Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Candra, memberikan materinya pada Seminar Pendidikan Abad 21 Gerakan Sekolah Menyenangkan, beberapa waktu lalu. | Foto: Nico Kurnia Jati
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kejahatan jalanan yang melibatkan usia remaja, dalam hal ini pelajar, masih kerap terjadi. Tidak terkecuali di DIY, yang mana kejahatan jalanan maupun kenakalan remaja ini masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama untuk ditanggulangi.
Menurut psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Poespita Candra, anak usia remaja berada dalam tahap mencari jati dirinya. Namun, ketika pencarian jati diri tersebut tidak dibantu dan didampingi, kejahatan jalanan dapat terjadi.
"Kenapa (kejahatan jalanan) itu munculnya anak remaja, bahkan ada yang baru SMP, karena memang usia-usia remaja ini sebetulnya usia pencarian identitas diri. Ketika dia belum menemukan atau tidak dibantu untuk menemukan identitas dirinya, maka dia akan mencari cara menemukan saya ini siapa," kata Novi kepada Republika, Senin (16/1/2023).
Novi menjelaskan, waktu yang dihabiskan anak lebih banyak di sekolah dan di rumah. Namun, permasalahannya yakni lingkungan sekolah maupun lingkungan rumah tidak mendukung anak untuk dapat menemukan jati dirinya.
Sebab, kata Novi, kegiatan di sekolah hanya sekedar rutinitas untuk mengejar materi kurikulum. Kegiatan untuk menemukan jati diri melalui ekstrakurikuler di sekolah juga tidak berdampak besar mengingat porsinya juga sangat sedikit.
"Proses pembelajaran atau ekosistem di sekolah itu sendiri di Indonesia porsinya tidak banyak untuk mengenal jati diri. Pembelajaran hanya hafalan, dan di rumah cuma disuruh," ujarnya.
Hal tersebut menjadikan anak tidak terbantu untuk menemukan jati dirinya dari lingkungan sekolah dan keluarga. Sehingga, menjadikan anak mencari jati diri ke lingkungan terdekat lainnya, yakni lingkungan pertemanan.
"Masalahnya, yang jadi sumber-sumber pengetahuan pada dia tentang identitas diri itu lebih kuat siapa, apakah keluarga bisa mempengaruhi, apakah sekolah bisa menumbuhkan ekosistem di mana anak-anak remaja itu bisa mengeksplorasi dan menemukan dirinya, atau teman-temannya. Teman-temannya itu juga tergantung, ada yang baik dan ada yang tidak," lanjut Novi.
"Akhirnya dia harus membentuk konformitas identitasnya itu adalah identitas yang dikonfirmasi oleh stirnya yang paling dekat. Stir yang paling dekat teman-temannya, yang mungkin sudah terlebih dahulu melakukan (kejahatan jalanan) itu," katanya menambahkan.
Berdasarkan data dari Kepolisian Resor Kota (Polresta) Yogyakarta, kasus kejahatan jalanan masih cukup tinggi di Kota Yogyakarta. Sepanjang 2022, Polresta Yogyakarta mencatat kasus kejahatan jalanan 30 kasus.
Dari puluhan kasus tersebut, pelaku maupun korban masih merupakan usia remaja atau pelajar. "Kasus kejahatan jalanan tersebut menggunakan sajam (senjata tajam)," kata Kapolresta Yogyakarta, AKBP Idham Mahdi.