Dok. Republika
NYANTRI--Bagi masyarakat Indonesia bahkan mancanegara siapa yang tidak tahu dengan Malioboro. Sebuah tempat wisata yang terletak di kota Yogyakarta. Tidak ada yang aneh ketika orang menyebut kata Malioboro. Sebab memang jalan ini setiap tahunnya atau setiap akhir pekan ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik dari dalam atau luar negeri. Mungkin sudah banyak orang yang menulis atau bahkan menciptakan sebuah lagu hanya untuk menggambarkan sebuah jalan bernama Malioboro.
Bukan tanpa alasan para akademisi, peneliti, atau bahkan para musisi menulis atau menciptakan lagu tentang Malioboro. Karena memang ada nilai yang bisa diungkapkan dalam kehidupan. Bagi para musisi, menciptakan lagu tentang Malioboro tak lepas dari sebuah gambaran cinta romantis ketika sedang jalan atau nongkrong di Malioboro. Bagi para akademisi dan peneliti tujuannya jelas, yakni sebagai bahan kajian keilmuan.
Sedangkan bagi saya pribadi Malioboro bukan saja soal cinta dan sejarah. Tetapi tentang bagaimana memaknai hidup lewat Malioboro. Mungkin agak terlihat ganjil untuk melihat makna kehidupan lewat jalan Malioboro. Karena jika kita bertanya, apa hubungan malioboro dengan makna kehidupan? Jika kita melihat dalam konteks tembang macapat atau puisi Jawa bertembang yang terdiri dari 11 tembang macapat, yakni maskumambang, mijil, sinom, kinanthi, asmaradana, gambuh, dhandhanggula, durma, pangkur, megatruh, dan pucung, yang menceritakan perjalanan kehidupan manusia. Ternyata selaras dengan jalan Malioboro.
Keselarasan ini terlihat tatkala saya suka ‘iseng’ berjalan-jalan sendiri di kawasan Malioboro. Entah karena kesepian untuk menghilangkan kejenuhan atau sekedar untuk jalan-jalan. Adapun penjabaran mengenai kesebelas konsep itu adalah: bagi saya pribadi yang bukan lahir di Yogyakarta, ketika ingin menginjakkan kaki di Malioboro tentu harus melewati proses perjalanan transportasi (kereta atau bis) yang panjang dari Jakarta ke Yogyakarta. Begitu pun proses kehidupan manusia yang jauh sebelum menginjakkan kakinya di dunia. Manusia masih berada di alam ruh atau yang disebut dengan maskubambang.
Adapun alasan saya mau atau ingin menginjakkan kaki di Malioboro tentu banyak faktor. Faktor-faktor ini tidak datang dengan sendirinya melainkan sudah terkonstruksi sejak dini, baik melalui cerita atau melihat televisi. Bahwa Malioboro itu indah loh. Jadi keindahan yang sudah tertanam sejak kecil inilah yang membawa saja menginjakkan kaki di Malioboro. Hal ini sama seperti manusia. Ketika manusia telah selesai dari proses maskumambang, manusia akan memasuki proses mijil, yakni keluar dari rahim ibu yang disebut jabang bayi manusia.
Setelah keluar dari stasiun tugu dan membawa konstruksi, harapan, dan angan-agan tentang Malioboro perlahan saya mulai menelusurinya. Proses ini juga disebut dengan sinom, yakni penggambaran masa muda. Masa muda yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan. Dengan pelan-pelan kemudian saya menelusuri jalan panjang Malioboro yang dimulai dari papan nama malioboro yang sering dijadikan spot foto wisatawan. Saya mulai sedikit demi sedikit berjalan demi memenuhi ekspetasi saya akan keindahan malioboro.
Meski kadang tidak sesuai ekspetasi saya karena di beberapa tempat Malioboro masih terlihat kumuh. Tetapi jalan Malioboro ini tetap harus saya lalui. Proses ini disebut juga dengan kinanthi, yakni pembentukan jati diri atau meniti jalan menuju cita-cita. Meski terkadang cita-cita yang kita ekspetasikan tidak “indah” atau “kumuh”. Tetapi inilah jalan hidup yang harus kita lalui. Dengan pelan, sabar, dan syukur.
Di jalan Malioboro banyak saya lihat orang berjalan-jalan dengan membawa pasangannya atau kekasihnya. Mereka berjalan dengan penuh tawa kebahagiaan sambil menikmati setiap sudut Malioboro. Mereka bergandeng tangan mesra sambil sesekali bercengkrama, persis seperti proses asmaradana, yakni proses yang mengisahkan masa-masa kisah asmara, percintaan atau larut dalam lautan cinta kasih.
Setelah para para pasangan ini berlibur di Malioboro, mereka kemudian pulang. Tetapi kenangan akan berjalan bersama di Malioboro mungkin bagi mereka akan terus dikenang. Maka tak heran jika para pasangan ini, entah 3 atau 5 tahun lagi akan kembali ke Malioboro bukan atas nama sepasang sejoli, melainkan sebuah keluarga. Maka tidak heran jika di Malioboro banyak para wisatawan, selain dua pasangan sejoli ada juga wisatawan sebuah keluarga. Mungkin dahulu keluarga ini pernah mengunjungi Malioboro di masa saat memadu kasih. Kemudian setelah berkeluarga kembali lagi untuk menikmati setiap sudut Malioboro yang penuh kenangan.
Proses ini disebut dengan gambuh, yakni menceritakan tentang komitmen dalam perkawinan untuk menyatukan cinta dalam satu biduk rumah tangga. Di Malioboro banyak sekali pusat perbelanjaan yang menyediakan berbagai souvenir, oleh-oleh, atau makanan yang bisa dibawa pulang atau dinikmati di tempat. Sama seperti hidup yang penuh pilihan, jika kita sejahtera atau mapan banyak yang ingin kita beli, jika kita goyang dalam hal pemikiran dan keimanan ada banyak pilihan ideologi di dunia ini. Tergantung bagaimana kita memilih yang terbaik buat kehidupan kita.
Di Malioboro ada banyak hal yang bisa dibeli oleh sebuah keluarga, tentu sesuai dengan kebutuhan. Sebab tidak semua hal dapat kita beli atau kita nikmati. Sama seperti pilihan dalam hidup, ada banyak hal yang mampu dipilih dalam hidup. Tetapi mana yang sesuai dengan kebutuhan dan ekonomi kita? Meski Malioboro atau kehidupan banyak menawarkan berbagai hal. Proses ini disebut dengan dhandhanggula, yakni kehidupan yang telah mencapai tahap kemapanan sosial serta sejahtera, cukup sandang, papan, dan pangan.
Selain banyak menawarkan berbagai hal, di Malioboro juga banyak berbagai sisi kehidupan orang lain. Sejauh saya menelusuri Malioboro, tak jarang saya banyak menemukan para pengamen dan pengemis yang meminta-minta. Mungkin bagi sebagian orang para pengemis ini menganggu atau bagi para penikmat musik klasik yang enak didengar hal itu menjadi kebahagiaan tersendiri, seperti para pemain angklung. Dengan kemampuan mereka memainkan alat musik. Tak jarang banyak orang rela mengeluarkan uang untuk menikmatinya.
Hal itu sama dengan kehidupan, ketika kita sudah mencapai derajat kemapanan hendaknya seseorang harus berbagi rejeki dengan orang lain. Proses ini disebut dengan durma, yakni seseorang sedianya harus melakukan sedekah dan berbagi kepada sesama. Sebagaimana yang diketahui, meski di Malioboro banyak menawarkan berbagai hal yang menggiurkan, seperti baju dan makanan. Ada baiknya kita bisa mengontrol nafsu atau diri untuk tidak membelanjakan habis uang kita hanya untuk mengejar gengsi dan kemewahan.
Sama seperti dalam hidup yang harus bisa mengontrol nafsu dan diri agar tidak terjebak dalam kebinasaan. Proses ini disebut dengan pangkur, yakni menyingkirkan hawa nafsu yang mampu menggerogoti jiwa. Setelah berjalan sekian meter di Malioboro. Banyak orang kemudian duduk-duduk sejenak sambil menikmati keramian. Oleh karena itu tak heran jika di Malioboro banyak menyediakan fasilitas untuk duduk-duduk. Mengingat kaki atau badan ini sudah tidak mampu lagi berjalan.
Sama seperti kehidupan, ketika kita sudah memasuki usia senja. Kita sudah tidak mampu lagi melakukan apa-apa. Proses ini disebut dengan megatruh, yakni awal mulai terpisahnya nyawa dari jasad kita menuju keabadian. Tidak terasa ternyata perjalanan, menesuluri Malioboro telah sampai di titik nol kilometer. Sebuah titik akhir atau batas dari jalan Malioboro. Sebagaimana kehidupan ini, setelah kita lahir, kemudian menikmati setiap proses dalam kehidupan. Pada akhirnya manusia akan sampai pada titik dimana di akan menuju pada keabadian. Proses ini disebut dengan pocung, yakni menceritakan tubuh manusia yang hanya menyisakan jasad yang dibungkus kain kafan.
Penulis: Dimas Sigit Cahyokusumo alumni Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM