REPUBLIKA.CO.ID,Begitu fulfilled rasanya saat itu ketika kedua kaki bisa berpijak di lantai Bandara Soekarno Hatta. Pengalaman ini terjadi ketika aku berumur 10 tahun tepatnya pada Agustus 2003. Saat itu, aku tinggal di Medan. Orangtua memutuskan untuk menghabiskan liburan akhir tahun dengan mengunjungi sanak saudara yang ada di Jabodetabek, plus sekaligus liburan.
Berangkat dari rumah sekitar pukul tujuh pagi menuju Bandara Polonia Medan. Bandara Polonia masih terlihat sepi. Hanya ada beberapa pengunjung dengan membawa koper dan barang bawaan lainnya. Semua orang sibuk dengan kegiatannya masing–masing, ada seorang nenek menggunakan kursi roda yang didorong oleh seorang pria dan ada juga seorang ibu yang sibuk menenangkan anaknya yang sedang menagis. Aku sendiri, hanya bisa diam melongo sambil memegang dagu menunggu orangtua mengurus administrasi.
Kira–kira dua jam kemudian, jadwal penerbangan yang ditunggu pun tiba. Aku sangat senang. Ini merupakan pengalaman pertama bagiku naik pesawat dalam keadaan sadar. Aku naik Pesawat Garuda Indonesia. Pesawat bewarna putih dengan pedang warna biru di ekornya terlihat begitu gagah dengan kursi dudukan besar bewarna biru, toilet yang bersih dan ruangan dalam pesawat yang dingin mungkin sekitar 20 derajat celcius.
Dalam pesawat ada pilot dan copilot yang terlihat gagah memakai baju putih dan para pramugari dengan badan sangat proporsianal, tinggi, rambut diikat rapi dengan serentetan gigi putih yang tersusun rapi dan terlihat jelas ketika mereka tersenyum.
Sesaat kemudian sayap pesawat terlihat bergerak secara pelan–pelan. Kemudian naik ke udara semakin cepat. Aku rasakan saat itu adalah takut. Sebab, aku pernah melihat di televisi ada pesawat terbang yang jatuh dan semua penumpang meninggal dunia.
Akupun menutup mata, memegang ibuku erat – erat dan berdoa dalam hati. Baru ketika pesawat melaju dengan tenangnya, aku pun merasa nyaman dan bersikap biasa. Pesawat terasa bergoyang kecil karena bertabrakan dengan awan putih. Dari jendela pesawat, aku dapat melihat aliran sungai- sungai yang berkelok – kelok seperti ular, hutan yang terlihat seperti sawah hijau yang ditumbuhi padi. Rumah – rumah terihat hanya seperti kotak kotak bewarna warni.
Setelah berada di dalam pesawat sekitar satu jam, seorang pramugari memberikanku makanan . Makanan itu tersusun rapi dalam tamban lengkap dengan segelas minuman bewarna kuning dengan tambahan es di dalamnya. Terlihat terasa begitu menggoda untuk segera disantap. Aku mengambil lauknya, memasukkan ke dalam mulut dan mengunyah pelan – pelan. Duhh rasanya enak sekali.
Ketakutankupun hilang. Aku duduk nyaman. Betapa senangnya hatiku ketika pesawat mendarat dengan mulus dan aman.
Penulis: Srihanna Raisa (Mahasiswi jurusan Akutansi FEUI 2011)