REPUBLIKA.CO.ID,Piscok, begitulah kudapan ini dinamai oleh masyarakat. Bentuknya panjang berisi pisang yang dilumuri saus coklat. Rasanya tentu saja manis dan gurih. Tanpa diduga-duga, kudapan kecil ini menjadi primadona di kalangan mahasiswa Universitas Indonesia.
Piscok menjadi primadona bukan hanya karena rasanya yang lezat, tetapi juga karena bermanfaat untuk mengisi kantong. Sudah lama piscok dijadikan komoditas bagi para pedagang yang bermukim di sekitar kampus UI Depok, Jawa Barat. Dari mulai berdagang di stasiun kereta hingga ke daerah kost-kostan. Namun sejak tahun 2011, wilayah dagang mereka meluas hingga ke fakultas-fakultas. Layaknya agen penjual, para mahasiswa giat menjajakan box demi box piscok kepada teman-temannya.
Box-box piscok tersebut didapatkan mahasiswa dengan memesan kepada seorang produsen piscok di daerah Kukusan, Depok. Setiap pagi piscok tersebut diantar ke halte-halte fakultas untuk kemudian dijual kembali oleh para mahasiswa. Jumlahnya tidak sedikit. Setiap hari bisa sampai dua puluh kardus berisi tiga puluh piscok didistribusikan ke setiap fakultas.
Untuk apa kiranya piscok-piscok ini dijual? Rupanya para mahasiswa sedang giat mengumpulkan dana untuk acara kepanitiaan. Piscok menjadi pilihan utama mendatangkan keuntungan besar bagi acara mereka.
Satu piscok dihargai Rp 1000. Para mahasiswa bisa meraup keuntungan dua kali lipat dari modal mereka. Jika tiga box saja yang terjual habis sehari, keuntungan mereka mencapai Rp 45.000. Lumayan bukan?
Piscok mudah laku. Kudapan ini dijadikan pengganjal perut di pagi hari terutama bagi para mahasiswa yang tidak sempat sarapan dan ingin hidup hemat. Belum sampai tengah hari, kudapan ini sudah terjual habis. Berkah piscok ini tidak hanya dirasakan para mahasiswa, tetapi juga para pedagang. Menurut penuturan Agus dan Raswo, pengantar piscok harian di Fakultas ISIP, Universitas Indonesia, sekarang mereka kebanjiran pesanan. “Toko yang di stasiun sedang ditutup dulu. Sekarang setiap hari kami cukup buat piscok saja dan mengantarkan ke halte untuk dijual mahasiswa,” ungkap Agus.
Penulis: Aninta Ekanila, Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia 2011