REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- “Mencari minyak di luar sana sangat sulit tapi kita disini sangat mudah membuang-buangnya,” ujar Kepala Departemen Hubungan Media Total E&P Indonesia Kristanto Hartadi membuka pelatihan jurnalistik Republika Goes To campus, Jumat (9/5) lalu.
Kristanto melanjutkan, para pekerja di kilang minyak harus memakai pakaian kerja super tebal dengan penutup kepala khusus bahkan harus menggunakan sepatu seberat tujuh kilogram. “Dan lokasi disana sangat panas,” tambahnya.
Dengan perjuangan seperti itu, Kristanto menilai bahwa sudah semestinya kita menghargai minyak sebagai sumber energi. Lantas bagaimanakah sejatinya usaha ini?
Di kesempatan yang sama Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas di Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudy Raditya menceritakan tentang sejarah awal dan perkembangan usaha eksplorasi minyak di Indonesia.
Sejarah perminyakan di Indonesia dimulai pada tahun 1865 saat eksplorasi minyak pertama kali dilakukan di bumi pertiwi. Ladang minyak pertama ditemukan di Telaga Said, Sumatera Utara. Sampai pada tahun 1950 banyak ladang lain yang ditemukan di daerah Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur. Pertamina pun akhirnya berdiri di tahun 1957. Badan Pemeriksa (BP) Migas juga turut didirikan pada tahun 2003.
SKK Migas sendiri bertugas sebagai pengawas dan pengendali usaha hulu minyak dan gas di Indonesia. Sederhananya, SKK Migas menyelenggarakan tender bagi perusahaan yang hendak melakukan kegiatan usaha hulu Migas. Kemudian, SKK Migas akan melakukan pengawasan atas kegiatan yang dilakukan. Usaha hulu pada dasarnya adalah eksplorasi dan eksploitasi. Eksplorasi adalah penelusuran potensi minyak dan gas di suatu daerah. Eksploitasi adalah kegiatan pengambilan minyak dan gas dari dalam perut bumi.
Sementara kegiatan seperti ekstraksi minyak mentah menjadi premium atau distribusi ke SPBU adalah usaha hilir. “Biasanya yang melakukan adalah Pertamina. Usaha hilir ini di luar SKK Migas,” tandas Rudy.
Lebih lanjut Rudy mengungkapkan, ada banyak perusahaan energi yang ikut serta dalam tender proyek usaha hulu di Indonesia. Kebanyakan adalah perusahaan asing seperti Chevronm Total dan sebagainya. Dalam menjalin kerjasama, pemerintah melalui SKK Migas menerapkan sistem bagi hasil. Artinya, hasil eksploitasi minyak dan gas akan dibagi dengan presentase tertentu antara pemerintah dan perusahaan.
“Kebanyakan pemerintah mendapat jatah lebih banyak. Jadi kita masih untung,” ujarnya.
Selain mengolah hasil sumber daya alam, perusahaan asing juga membawa keuntungan bagi perbankan nasional. Perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia harus menyimpan dananya di bank nasional.
“Dana yang masuk ini bisa diolah oleh bank kita untuk memajukan perekonomian bangsa,” pungkas Rudy.
Menyambut pemaparan Rudy, sebuah pertanyaan kritis dilontarkan dari salah satu peserta pelatihan, Panji Lepi Lesmana. Mahasiswa Manajemen Universitas Proklamasi 1945 mempertanyakan kenapa kerjasama industri hulu migas selalu didominasi asing. “Kenapa tidak Pertamina sebagai perusahaan lokal didahulukan untuk mengeksploitasi Migas di Indonesia sendiri?” ujarnya skeptis.
Selama ini, menurut Rudy, SKK Migas mempersilahkan Pertamina untuk mengikuti tender. Sayangnya, Pertamina selama ini lebih tertarik dengan usaha distribusi ke masyarakat dan eksploitasi daerah bekas atau alih lahan. “Seperti diketahui, perusahaan asing memiliki kontrak masa kerjanya dalam melakukan eksploitasi. Saat kontraknya habis, Pertamina selalu tertarik untuk mengambil alih lahan tersebut,” terang Rudy.
Berangkat dari fakta tersebut, Rudy juga mengungkap bahwa industri hulu adalah usaha yang sangat beresiko. Bayangkan saja, ketika ada sebuah lahan yang terlihat potensial, perusahaan harus melakukan eksplorasi selama 3-6 tahun. Dengan eksplorasi ini, akan dilihat apakah layak lahan ini untuk dikembangkan dan dieksploitasi.
Bila layak dan minyak berlimpah, tentu akan sangat menguntungkan. Namun bila ternyata tidak potensial, dana yang telah dikeluarkan untuk operasional eksplorasi dan pajak kepada pemerintah akhirnya hilang begitu saja menjadi kerugian.
“Usaha ini sangat untung-untungan. Kalau salah pilih lokasi bisa sangat merugi. Seperti judi rasanya,” kelakarnya.
Lantas, bagaimana kondisi dan strategi Migas hari ini? Menurut Rudy, persoalan Migas adalah persoalan energi yang amat krusial bagi masyarakat Indonesia. Kendalanya adalah, produksi minyak bumi telah menurun drastis beberapa tahun belakangan. Kelangkaan energi pun kerap menjadi momok di beberapa daerah. Penggunaan energi masih boros di kalangan masyarakat. Strategi pun harus dilakukan mulai dari sekarang.
Dalam rancangan Arah Kebijakan Energi Untuk Solusi Energi (UU No. 30 2007 dan UU No. 4/2009), dijelaskan bahwa ada dua arah strategi besar untuk menangani krisis energi. Pertama, adalah Intensifikasi Energi. Implementasinya adalah kegiatan eksplorasi dan diversifikasi produksi. “Inovasi energi terbarukan menjadi bagian penting,” ujar Rudy.
Kedua, adalah Pengurangan Konsumsi Minyak. Strategi ini berakar dari kesadaran masyarakat yang terimplementasi dari konservasi dan efisiensi penggunaan energi. “Dengan menekankan pada peningkatan produksi energi dan penghematan penggunaannya, kita bisa mewujudkan ketahanan energi,” pungkas Rudy.
Penulis: Hamzah Zhafiri Dicky -- Kepala Biro Humas di Badan Penerbitan Pers Mahasiswa Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta